BAK sinetron. Itulah yang publik saksikan dalam episode bocornya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus Hambalang dengan tersangka Anas Urbaningrum.
Ketika kopian dokumen tersebut beredar, para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti kebakaran jenggot. Masing-masing memberikan keterangan yang berbeda-beda. Satu membantah, yang lain membenarkan dan mengaku menandatangani meski kemudian mencabut tandatangannya.
Belakangan, jubir KPK Johan Budi membenarkan bahwa dokumen yang beredar itu memang dokumen milik KPK. Tetapi, sekalipun asli, dokumen tersebut belum memiliki nomor.
"Sehingga belum menjadi dokumen yang sah," jelas Johan Budi, Kamis (21/2) malam.
Gara-gara episode "Sprindik yang Tertukar" itulah, KPK sibuk membentuk komite etik. Konsentrasi pun terpecah antara urusan penyelidikan masalah kebocoran dengan pokok perkara: kasus Hambalang yang diduga melibatkan Anas. Anas diduga menerima mobil Toyota Harrier dari PT Adhi Karya untuk memuluskan proyek itu.
Pekan lalu, Johan menyebut, pembentukan komite etik hanya dilakukan jika ditemukan pelanggaran oleh pimpinan KPK. Anehnya, Kamis malam lalu, Johan menyatakan yang bertanggung jawab dalam kebocoran dokumen itu belum bisa disimpulkan. “Pelakunya belum bisa disimpulkan, tapi bisa pegawai atau pimpinan,” katanya.
Bukan sekali dua kali KPK mengalami kisruh internal semacam itu. Dalam sejumlah pengambilan keputusan penting juga menguar aroma tak sedap. Publik sudah sangat sering mendengar kasak kusuk tentang jegal menjegal antar pimpinan lembaga yang jadi tumpuan harapan rakyat ini.
Publik juga sering mendengar keterangan yang saling bertolakbelakang antara satu pimpinan dengan pimpinan yang lain. Bahkan, keterangan dari satu sumber internal KPK pun bisa berbeda hanya dalam rentang waktu yang pendek, seperti pada keterangan Johan Budi tentang pembentukan komite etik untuk menyelidiki kebocoran Sprindik ini.
Penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka, Jumat (22/2/2013) sore, jadi seperti tak bernilai. Terlalu berbelit-belit dan berputar-putar langkah yang ditempuh, diseling episode Sprindik yang Tertukar pula. Hampir setahun KPK berputar-putar untuk akhirnya menetapkan Anas sebagai tersangka. Sementara terhadap Luthfi Hasan Ishaaq hanya butuh waktu tak kurang dari 3 jam saja.
Harapan publik terhadap lembaga anti rasuah ini sudah telanjur sangat besar. Layak disyukuri karena ini menunjukkan semangat publik untuk membasmi korupsi dari bumi pertiwi.
Sayangnya, publik juga mulai berlebihan memberikan kepercayaan kepada lembaga ini. Sudah mulai muncul persepsi bahwa KPK adalah lembaga yang tak pernah dan tak mungkin salah. Walhasil, kritikan terhadap KPK dianggap sebagai serangan.
Mengritik KPK bisa berujung pada tudingan sebagai pendukung korupsi. Mempermasalahkan cara kerja KPK dianggap sebagai upaya melemahkan langkah-langkah pemberantasan korupsi.
Inilah yang disindir Fahri Hamzah dengan tajam melalui akun twitternya @fahrihamzah. Dalam twitnya, Fahri menyebutkan, “KPK sah melakukan pembocoran sprindik. KPK tak mungkin salah…Undang-Undang yg salah. Demi memberantas korupsi yg sdh merajalela KPK boleh melakukan apa saja.”
Lalu anggota DPR ini melanjutkan kicauannya, “Kalau KPK belum menentukan status tersangka, ya karena hanya KPK dan Allah yang tahu. Kalau KPK langsung tangkap orang, ya itu karena sdh ada alat bukti. Hanya KPK yg tahu. Kalau KPK tunda kasus Century ya karena belum cukup bukti. Itu terserah KPK. KPK tak mungkin salah.”
Sindiran Fahri berlanjut, “Korupsi adalah kejahatan dan KPK adalah kebenaran dan yg lain serta kita semua adalah embel2nya. KPK adalah segala-galanya…. KPK adalah nadi bangsa kita…kalau nadi putus bangsa kita mati… Jangan ada yg kritik KPK. Mengkritik KPK adalah kejahatan kemanusiaan…”
Bagaimana dengan anda? Yakin KPK tak mungkin salah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H