Saya menyalami mereka satu-persatu. Tentu saja mereka tidak ambil pusing siapa saya. Mungkin mereka menebak jika saya saudara tuan rumah. Dalam kondisi demikian, siapa yang peduli.
"Kemarin masih jalan-jalan sama Anjali. Sore hari. Menyapa saya."
"Mendadak sekali ya Budhe pergi"
Banyak lagi perbincangan yang saya dengar. Hingga saya bisa simpulkan, jika yang tiada mamanya Anjali.
Ketika saya mau meneruskan perjalanan, Anjali keluar. Menemui saudaranya di beranda. Ketika matanya menatap saya, ada keterkejutan di sana.
Tidak ada yang bisa saya perbuat. Saya hanya tersenyum kikuk. Sekilas, walaupun lemah, saya menangkap senyum getir Anjali. Saya menyalaminya. Menyampaikan dengan tulus duka yang dirasakannya.
Sejak itu, Anjali seperti telah menetap dalam kepala saya. Matanya yang sembab, senyum getirnya membayang dalam hidup saya. Karena saya tidak kuat menahan beban yang baru pertama saya alami itu, saya menyerah.
Kurang lebih dua pekan setelah pertemuan di rumahnya, saya memutuskan untuk mengunjunginya. Namun, saya hanya bisa merutuki kebodohan saya. Kenapa harus menunggu lama untuk menemuinya.Â
"Seminggu lalu pindah Mas. Ini rumah kontrakkan. Sepertinya ke Makassar. Itu yang saya dengar"
Sepanjang jalan saya tidak bisa lagi menahan kesedihan. Saya menangis sejadi-jadinya. Beberapa pengendara melihat saya dengan heran. Ada yang berbisik-bisik. Ada yang tertawa. Tapi yang jelas, saya tidak peduli. Air mata sialan ini semakin menjadi-jadi. Meruntuhkan kewarasan.
Temu, 28/12/21