Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lain Kali Saja Saya Bacakan Puisi

31 Agustus 2021   19:08 Diperbarui: 31 Agustus 2021   19:09 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah beberapa kali saya tidak bisa tidur, saya keluar kamar. Makalah-makalah dari mahasiswa semakin menggunung di meja kerja. Semakin mencekam saja malam itu.

Saya mengambil novel yang tadi saya beli di toko buku. Setelah menyobek plastik pembungkusnya, tiba-tiba ada rasa bersalah kenapa harus membeli buku itu. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba muncul. Kemudian semakin mengental. 

Novel itu, demikian saya baca di sampul belakangnya, hendak menceritakan tentang kebobrokan penguasa di negeri wakanda. Saya tahu penulisnya. Pernah beberapa kali ketemu di kesempatan seminar. 

Tetapi pada dasarnya, saya tidak menyukai cara pandangnya. Ia memandang rendah penulis yang abai pada kondisi negara bangsa. Katanya, penulis itu harus mampu menjadi lampu di tengah gelapnya kondisi sebuah bangsa.

Menurut saya, siapapun boleh bersikap. Tidak boleh ada tudingan ini itu dalam proses kreatif. Mengalir saja. Mau memuja negara bangsa, atau memelototi habis-habisan itu pilihan. 

Novel yang saya pegang ini buku pertamanya yang saya miliki. Dari puluhan judul karangannya. Tiba-tiba saja, saya ingin punya. Saya ingat betul, itulah alasan utama membawanya pulang dari toko buku. 

Sialnya, setelah saya menyobek plastik pembungkus novel itu, saya merasa telah melakukan dosa yang sangat biadab. Saya letakkan kembali buku itu di meja. Tetapi perasaan berdosa yang menyeruak di dalam tubuh saya semakin menyala. 

Saya kemudian mengambilnya lagi. Lalu membawanya ke luar rumah. Kaki saya seperti digerakkan oleh kekuatan yang susah saya jelaskan. 

Tiba-tiba saja saya sudah berada di pinggir sungai. Kira-kira 25 meter dari rumah. Setiap akhir pekan, saya menghabiskan waktu di pinggir sungai ini. Kadang memancing. Kadang membawa beberapa buku dan melahapnya di sini. Kadang sekadar bengong sambil menikmati angin sore.

Beruntung sepanjang perjalanan tak sekalipun bertemu orang lain. Sehingga tidak repot menjelaskan jika ada berbagai macam pertanyaan.

"Mau kemana ini malam-malam?"

"Kenapa membuang buku di tengah malam begini?"

dst..

Ketika hendak melempar novel ke sungai, tiba-tiba saya merasa jika cara ini terlalu mudah dan sederhana. Tidak setimpal dengan rasa bersalah yang menggumpal dalam tubuh dan jiwa saya.

"Bakar bukunya. Lalu abunya taburkan ke sungai. Itu lebih metodis."

Suara yang berasal dari dalam diri saya ini kemudian membuat saya berubah pikiran. Kenapa tidak terpikir untuk meniru budaya pemberangusan buku melalui pembakaran. Bukankah negara telah mengajari kita untuk bertindak praktis. Saya kemudian menjadi paham, kenapa mereka lebih memilih membakar buku ketimbang berperang lewat gagasan tanding. 

Pertama-tama, saya harus mencari korek api. Dan itu artinya saya harus kembali ke rumah. Karena tidak ada pilihan lain, saya kembali berjalan menuju rumah. 

"Mau membakar buku ya Bung?"

Saya tersentak. Ketika menoleh, tak ada siapapun manusia di sekitar saya. 

"Aku di sini. Hahaha"

Saya mendongak. Rupanya bulan sabit yang menggantung di langit itu yang memanggil saya. Ia tersenyum seperti biasanya.

"Lain kali saja saya bacakan puisi tentang kesedihan-kesedihan sebagaimana yang kamu minta. Saya ada urusan tak kalah penting." 

Saya bergegas menembus udara malam. Yang dingin dan menyimpan sepi.

Sidoarjo

31/8/21

Mengurai kemacetan dalam kepala

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun