"Kenapa membuang buku di tengah malam begini?"
dst..
Ketika hendak melempar novel ke sungai, tiba-tiba saya merasa jika cara ini terlalu mudah dan sederhana. Tidak setimpal dengan rasa bersalah yang menggumpal dalam tubuh dan jiwa saya.
"Bakar bukunya. Lalu abunya taburkan ke sungai. Itu lebih metodis."
Suara yang berasal dari dalam diri saya ini kemudian membuat saya berubah pikiran. Kenapa tidak terpikir untuk meniru budaya pemberangusan buku melalui pembakaran. Bukankah negara telah mengajari kita untuk bertindak praktis. Saya kemudian menjadi paham, kenapa mereka lebih memilih membakar buku ketimbang berperang lewat gagasan tanding.Â
Pertama-tama, saya harus mencari korek api. Dan itu artinya saya harus kembali ke rumah. Karena tidak ada pilihan lain, saya kembali berjalan menuju rumah.Â
"Mau membakar buku ya Bung?"
Saya tersentak. Ketika menoleh, tak ada siapapun manusia di sekitar saya.Â
"Aku di sini. Hahaha"
Saya mendongak. Rupanya bulan sabit yang menggantung di langit itu yang memanggil saya. Ia tersenyum seperti biasanya.
"Lain kali saja saya bacakan puisi tentang kesedihan-kesedihan sebagaimana yang kamu minta. Saya ada urusan tak kalah penting."Â