Bagaimana Ahmad membaca berpuluh-puluh buku puisi, masih menjadi semacam masalah yang menempel di kepala saya. Bertahun-tahun.
"Itu seperti panggilan jiwa" katanya mantap.
Oh, jawaban macam apa itu. Panggilan jiwa seperti apa? Saya mendebat dengan penuh energi. Meluap seperti luapan Kali Lamong saat musim penghujan. Yang meluber hingga perkampungan. Yang tak pernah ada solusinya. Maksud saya, bukan sama sekali tidak ada, tetapi hasilnya nol besar.Â
"Ada banyak pilihan. Saya pikir membaca novel atau nonton film lebih hidup ketimbang membaca buku puisi."
Ahmad tentu saja tidak pernah memberikan jawaban yang menurut saya memuaskan saya. Saya simpulkan, jawabannya berbelit-belit. Oh ya, semacam puisi.
Suatu waktu, Ahmad menemui saya. Ia bermimpi, demikian prolognya. Saya meraba-raba arah percakapannya. Tetapi sampai beberapa detik, belum bisa menebak ke arah mana.
Ia menceritakan mimpinya yang terkesan mengada-ada. Katanya ia melihat wajah saya berputar-putar di langit. Wajah saya itu menatapnya terus-menerus. Dan selebihnya saya menyimak bualannya yang bikin pening kepala.
Setelah ia menamatkan mimpinya, Ahmad mengambil sesuatu di tasnya. Ya, itu buku. Sampulnya biru. Ada gambar babi di cover depannya. Judulnya: Aku Bangga Beribu Babi.
Saya menerima buku itu.
"Aku tahu kamu tidak suka membaca buku puisi. Tetapi kupikir kamu harus membaca buku ini. Lalu kutunggu komentarmu. Ini penting dan terkait dengan mimpiku itu."
Saya menolak tentu saja. Ini muslihat macam apa. Dari judulnya saja sudah membuat merinding. Apalagi ini buku puisi. Tetapi saya memang ditakdirkan untuk tidak bisa berbuat banyak dengan Ahmad. Saya toh akhirnya membawa buku itu.