Betapa menjengkelkan. Namina dikeluarkan dari tempat kerjanya dengan alasan yang bikin kepala saya geleng-geleng. Ia dianggap tidak perawan.
Namina ini teman sekolah saya. Ia memang semenjak sekolah sudah bekerja. Dulu Ibunya punya usaha cuci baju. Namina menjadi bagian penting di dalamnya. Baik yang ikutan nyuci, maupun mengantar hasil cucian.
"Kamu harus bersyukur punya orang tua mampu" ujarnya suatu sore ketika saya menyerahkan baju-baju kotor. Entah, saya lupa bagaimana awal mula perbincangan itu.
Setelah tamat sekolah, saya kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri. Saya ikut jalaur mandiri. Tentu saya mulanya tidak tahu menahu besarnya biaya yang dikeluarkan orang tua.
Namina, demikian saya memanggilnya dari nama Sumina, bekerja penuh waktu membantu usaha cuci baju Ibunya.
Namina tidak pernah cerita tentang Bapaknya. Meskipun banyak yang bilang jika Bapaknya meninggalkan Ibunya sewaktu dia berumur satu bulan. Ada yang bilang juga, Bapaknya kawin lagi.
Lalu sampai sore itu, ketika saya membaca berita heboh di media sosial. Isinya: seorang karyawan pabrik dikeluarkan karena tidak perawan. Setelah saya baca detail, ada foto kawan saya. Sumina.
Tentu saja seperti sinetron. Pihak pabrik membantah itu. Mereka menilai kinerja Namina yang tidak bagus. Bukan masalah perawan dan tidak perawan.
"Silakan dipecat atau apa. Tapi jangan menuduh anak saya tidak perawan. Memang apa maksudnya itu?" demikian berita itu mengutip pernyataan Ibunya.
Rupanya berita itu meledak. Media-media mulai memberi sorotan. Meninabobokan sebentar isu-isu radikal yang juga ramai.
Bahkan, sang ibu siap membuktikan keperawanan anaknya dengan tes di rumah sakit. Bukan omong kosong, itu dibuktikan beberapa hari kemudian. Dan hasilnya memang anaknya masih perawan.