Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melayang-layang di Udara seperti Kapas

11 Oktober 2019   19:30 Diperbarui: 11 Oktober 2019   19:30 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana masih pagi. Aripin yang menemui saya tadi malam, kabarnya dibunuh. Saya kaget. Beritanya berjubel di medsos. Kawan-kawannya berebut dukacita. Berebut menghujat. Mengumpat. Kadang cara mengumpatnya sudah tidak fokus. Pertama, yang dihujat itu si pembunuh. Lalu karena ada komen yang model hujatannya kelewatan batas, kata mereka, si pengomen juga dihujat. Karena tidak terima, timbulah hujat-hujatan.

Karena penasaran, saya coba telfon Aripin. Hapenya aktif. Tapi ndak ada yang ngangkat. Saya ulangi lagi. Berhasil. Ada suara di ujung sana. Jelas, itu suara Aripin. "Halo, ini siapa? Siapa? Kok diam? Halo? Bajingan.." telfon kumatikan.

Saya mulai ragu. Kucoba lagi. Pertama gagal. Kedua, berhasil. "Halo, ini siapa? Siapa? Kok diam? Halo? Bajing..." telfon kumatikan. Pertama, saya agak heran. Setahu saya, temam saya itu menyimpan nomor saya. Sehingga akan tahu siapa yang menelfon. Kedua, bila memang Arifin benar-benar dibunuh, suara dengan logat yang persis itu siapa punya. Apakah semacam hantu, atau semacamnya lah. Untuk urusan hantu, saya percaya betul. Tiga atau empat kali, saya pernah menjumpai hantu. Namun, apakah ada hantu pake telefon? Di beberapa film horor memang ada yang demikian. Tapi itu hanyalah lelulucon tak berdasar. Untuk kategori ini saya ndak percaya.

Setelah mempertimbangkan banyak faktor, saya harus ke rumah Aripin. Memastikan. Supaya rasa penasaran di kepala tidak menggedor-gedor. Ketika hendak membuka pintu gerbang, Sosiri datang. Ia memakai pakaian serba hitam. Matanya sembab. Sebelum kutanya, dia langsung nyerocos. Jika Aripin telah meninggal. Ketabrak kereta api. Tubuhnya remuk. Yang salah Aripin. Menerobos palang pintu. Saya bergidik.

Bisa jadi Sosiri bohong. Sebab di medsos, Aripin dibunuh. Bukan ketabrak kereta api. Bisa juga semuanya ngaco. Saya geber motor ke kediaman Aripin. Di perempatan sebelah bekas gedung bioskop itu, kulihat orang yang lagi kucari. Aripin duduk di bangku sambil mengelus-elus seekor kucing. Sesekali dia tertawa. Darah saya berdesir. 

Karena penasaran, saya samperin. Ketika saya sudah berhenti di depan mukanya, saya yakin jika itu Aripin. Anehnya, dia tak menghiraukan kehadiranku. Dia masih tertawa sambil mengelus-elus seekor kucing. Kucing yang buruk rupa. Saya panggil berkali-kali, tak ada reaksi. Ketika kutepuk tangannya, ia menatapku. Tajam sekali. Saya gugup. Dengan tiba-tiba, kaki Aripin menghajar perutku. Saya terhuyung. Setelah itu, kulihat tubuh Aripin melayang-layang di udara seperti kapas. Semakin tinggi.
--
Sepanjang raya
11 Okt 2016 17:02:45

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun