Saipul, demikian namanya, yang akrab dengan panggilan Pipul. Pak Ipul. Seorang guru di sebuah sekolah swasta. Yang kini tengah menunggu pecahnya telur di ujung tanduk. Entah tanduk apa namanya.
Ia memilih bertahan bersama segelintir guru. Setelah puluhan rekannya memilih jalan berbeda.
Apa yang bisa di harapkan dari seorang guru swasta yang sekolahnya statusnya ruwet. Tanah di mana bangunan sekolah yang telah berdiri sejak 1950 itu telah diklaim sebagai kepemilikan sebuah perumahan.
Bukan omong kosong saja masalah kepemilikan. Yayasan yang menanungi sekolahnya tumbang di pengadilan. Waktu tinggal setahun ini untuk bertahan. Selanjutnya, jika memang yayasan ingin sekolah itu hidup ya harus cari tempat. Titik.
Pipul menjalani itu sebagai sebuah tantangan. Ya. Sangat klise. Tetapi itulah yang dipilihnya sebagai jalan ketika rekan sejawatnya memilih pergi.
Sementara yayasan, empunya sekolahan, sementara hanya berani berjanji akan. Akan dan akan. Sementara dinas terkait, ya begitulah. Pendidikan di negeri ini bukanlah investasi, tetapi komersialisasi. Demikian temannya memberikan pandangan padanya.
"Insyaallah saya bisa atas seizinNya untuk makan bersama keluarga. Doakan saja" demikian ucapnya sembari tersenyum.
Sore itu di beranda kontrakan yang kumuh. Kepala sekolah menemuinya. Untuk kesekian kalinya ia meminta Pipul dan kawannya untuk berhenti. Semacam protes.
"Aku tidak berbicara loyalitas. Semua tahu. Kita bertahan ketika semua pergi. Tapi apa? Bukan aku tak membela anak-anak tercinta. Perjuangan harus berakhir. Kita harus melawan dengan cara sebagai manusia normal. Bukan malaikat."
Pipul tertegun. Pimpinannya kali ini sudah habis. Ia bimbang dan tak tahu apa yang harus diperbuat. Dalam kepalanya yang penuh dengan beragam masalah, kini ia tak mampu mencernanya.
"Ini jalan kita. Ini pilihan kita." tutup kepala sekolah sore itu. Ia menyalami Pipul yang tak berdaya.
Sore telah jatuh. Azan magrib berkumandang di masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Di kejauhan, ia memandang istri dan anaknya yang bergandengan tangan. Berjalan ke arahnya dengan langkah ragu-ragu.
"Kamu menang. Saya kalah. Kalah sekalah-kalahnya" ujarnya sembari menahan air matanya yang hendak ambrol.
Surabaya, 16/7/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H