seorang pemuda yang kasmaran
bercerita tentang pacarnya.
Ia tidak bicara pada saya.
Sebab di ruang tunggu hanya
kami berdua, maka saya menegurnya.
ia hanya sebentar melirik.
matanya dingin. Meninju rasa ingin tahu.
lalu kembali bercerita.
ketika orangorang berdatangan
memenuhi kursi berjajar rapi
di ruang tunggu,
ia tak jua berhenti. orangorang
juga tak ambil pusing.
"Ia bicara dengan jam dinding"
lelaki tua di sebelahku
berbisik di telinga kananku.
"Pacarnya mati di zaman penjajahan
Belanda. Kena mortir di kepalanya."
"Ini sudah zaman reformasi" tukasku.
Tak dinyana, mata pemuda itu menatapku. Tidak lagi dingin.
tapi menyakitkan. Lalu
kembali mengabaikan. Kembali bercerita.
Orang-orang disekitar saya
mengabaikannya.
Pemuda kasmaran itu
mengabaikan saya.
Lelaki tua di sebelah
akhirnyapun saya
abaikan juga.
Akhirnya,
saya tidak tahu bagaiamana mulanya,
ruang tunggu penukaran voucher
anti miskin itu,
dipenuhi serdaduserdadu Belanda.
Mereka tampak beringas
memandang saya. Lalu
mereka menembaki
dirinya sendiri.
Sementara pemuda kasmaran itu
kembali mengobral ceritanya.
dan tibatiba pemuda itu
wajahnya menyerupai
wajah muda saya.
persis.
"berhentilah berharap
kaya" suara itu
kembali mengisi
telinga kanan saya.
ia tertawa
dan sepi
--
Lumajang, 6 Juli.2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H