Kakek Markopi diam-diam merencanakan sesuatu. Ia di kota itu seorang diri. Tak pernah ada yang tahu di mana keluarganya. Dan memang tidak penting untuk di soal. Lebih baik mikirin diri sendiri. Begitu dalilnya.
Sehari-hari ia tidur di Pasar Krian. Ia bermarkas di belakang pos keamanan. Markopi sendiri cukup dikenal di pasar itu. Sehari-hari ia memenuhi kebutuhan perutnya dari satu lapak ke lapak lainnya. Kebetulan pedagang setempat memang memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Pagi itu, ketika pasar tengah ramai-ramainya, Markopi menggasak sebuah lapak milik Samirah. Samirah si penjual ayam potong tidak terima. Ketika dagangannya diacak-acak, ia menggunakan energi suaranya dengan maksimal. Suara Samirah dan tentu saja aksi Markopi menjadi pusat perhatian.
Beberapa warga menendang kakek semata wayang itu. Lainnya melindungi Markopi. Samirah berteriak kesetanan. Markopi dengan sekuat tenaga melawan orang-orang yang mencengkram tubuhnya. Beberapa yang emosi, menyiram kakek itu dengan air comberan.
Petugas keamanan tiba. Dengan kekuasaan yang dibuat-buat ia segera mengamankan Markopi.
Menurut beberapa pedagang, Markopi memang punya impian untuk mendekam di penjara. Ia ingin mendapatkan makan dan minum gratis. Tanpa meminta seperti yang ia lakukan selama ini.
Samirah, si penjual ayam potong itu, menuntut Markopi agar dihukum. Benar saja, Markopi kemudian dijebloskan ke rumah impiannya. Dan seperti bukan rahasia umum lagi, Samirah dan Markopi sebenarnya sandiwara saja. Tujuannya jelas. Markoni tiba pada mimpinya. Penjara.
---
Krian
03/02/19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H