Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biografi Perantau dan Kampung Halaman

1 Juli 2016   05:17 Diperbarui: 1 Juli 2016   07:02 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika jenuh, pulanglah. Kampungmu akan menerimamu. Senista apapun dirimu. Sehina bagaimanapun tutur dan lakumu" itu pesan kakekku. Berpuluh tahun silam. Sebelum kakiku menginjak kota ini. Kota yang menyeretku pada kondisi-kondisi nista. Malam itu, sembari menggenggam gelas yang berisi kopi, aku sudah bulat tekad. Pulang.
,
Pagi itu, mendung, aku sudah menyiapkan semuanya. Tak banyak yang kubawa. Tas ransel butut. Kacamata hitam. Topi lusuh. "Aku berangkat dulu. Bersenang-senanglah di sini." perempuan itu mengucek-ngucek mata. Menguap. Tidur lagi.
,
Aku tidak bisa untuk tidak menyalahkannya. Perempuan itu. Ia yang mengajariku menjadi semacam ini. Entah bagaimana detail ceritanya, malam itu dia bertemu denganku. Mengajakku berkenalan. Semakin intens. Sampai aku lupa tujuanku ke kota ini. Saat itu yang kuingat hanya satu: menikmati apa yang tergelar di depan mata. Perempuan itu. Bersamanya.
,
Pemuda miskin yang ingin mengubah hidup. Di kota seperti ini. Tidak semanis cerita sinetron. Setidaknya, itulah pengalamanku. Tidak butuh waktu lama, kehidupanku langsung glamour. Bersamanya, kami bisnis barang haram. Awalnya, saya menjadi pengedar. Dari satu klub malam menuju klub malam lainnya. Dengan kelihaian level atas. Tak lama, naik pangkat. Dipercaya menjadi atasan puluhan hingga ratusan pengedar di kota ini. Juga kota lainnya. Selama puluhan tahun. Dengan sangat amat rapi. Tak terendus hukum. Maka jangan tanya, kalau aku mau  aku bisa membangun puluhan hotel. Tapi tidak, kami lebih memilih tinggal di rumah sederhana. Di pinggiran kota. Tentu saja bersamanya.
,
Mimpi. Sesederhana itu, arus hidupku berbalik. Adalah kakek, yang menuturiku lewat mimpi. Jika selama ini, saya berada pada garis terbalik. Garis yang keluar dari lajur-lajur apa yang mereka sebut dengan lajur kebenaran. Ia menemuiku malam itu. Mewejangiku seperti yang kerap ia lakukan di masa kecilku. Khas kakek. Tidak sekalipun menyudutkanku. Tidak sesentipun menghakimiku. Seperti kebanyakan mereka yang mengaku pemilik kebenaran. Barangkali, semudah itulah pemilik jagad ini menjungkirbalikkan keadaan. Seenteng kakiku menuju terminal. "Setiap penghianatan adalah nyawa alat tukarnya" dogma yang selalu kami pegang teguh. Dan, saya lebih dari siap untuk itu.
----
Hujan lebat di Taman
3 Jan 2016 17:55:18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun