Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keringat Dingin

21 Desember 2015   15:38 Diperbarui: 21 Desember 2015   15:38 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KERINGAT DINGIN
,
Secangkir kopi sudah. Aku menenggaknya tandas. Tidak mungkin lagi kutunggu kehadirannya. Ini benar-benar menyebalkan. Ketika pantat sudah kuangkat, suara tawanya menggenangi ruangan. Aku menoleh. Orang yang kutunggu tergelak-gelak. Ia menuju tempatku duduk. Mengulurkan tangannya. "Sudah lama menunggu Tuan pejabat?" Tawanya kembali berderai.
,
"Kamu telah mengambil waktuku cukup banyak. Sekarang langsung pada pointnya. Hentikan tawamu yang buruk itu." Dia menghentikan tawanya. Memasang wajah serius. "Aku mau kamu melaksanakan rencana ini dengan cerdas. Jangan sekali-kali menggunakan kekerasan. Dan, aku tidak mau gagal. Paham? Aku telah mentransfer ke rekeningmu. Sesuai dengan permintaanmu." Segera kutinggalkan cafe itu.
,
Perempuan itu, adalah istriku. Maaf, tepatnya mantan istri. Kami bercerai dua bulan yang lalu. Setelah lebih 10 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, akhirnya kami sepakat mengakhirinya di pengadilan agama. Sederhana saja, diantara kami tidak ada kecocokan. Ketidak cocokan itu tiba tiba saja hadir. Bersemi. Bercabang. Hingga akhirnya, kesepakatan untuk melepas ikatan pernikahan terjadi. Sebagaimana istriku, aku tidak bersedih dalam hal ini. Mulanya begitu. Tetapi, itu berubah saat istriku, maksudku, mantan istriku dekat dengan lelaki lain.
,
"Hahaha. Halo tuan pejabat. Misi kita sukses. Saya telah sukses menyingkirkan mister X. Ia kini dimutasi ke Papua. Semua rapi. Halus."
Aku menarik napas dalam. Menghembuskan perlahan. Wedang jahe yang masih mengepul, kuhirup aromanya. Tidak begitu khas. Wedang jahe Farida, tidak terlalu menusuk begini. Dia bilang, resep wedang jahenya itu warisan leluhurnya. Maka tak heran, teman dan kolega kalau ke rumah selalu minta wedang kaje. "Gila ini wedang jahe surga. Istrimu luar biasa" kenangku pada celoteh teman.
,
Ketika memasuki pelataran rumah, kulihat Farida dengan buah hatiku Dira, duduk di serambi. Tampaknya hangat sekali percakapannya dengan Bik Mah. Tiba-tiba ada debar yang menjalar ke seluruh tubuh. "Mana mobilmu mas?" kata mantan istriku kaget saat tahu aku datang dengan diantar Gojek.
"Ngandang di bengkel. Eh, kenapa ndak masuk?" Suaraku terdengar kikuk. Seperti ada sesuatu diantara kami. Aku langsung merangkul Dira. Mencium pipinya dengan gemas.
"Pa, begini. Aku mau bicara." Kutengok perempuan yang pernah menjadi bagian hidupku itu. Lalu aku mendekatinya.
"Ya, Ma.." ujarku sambil duduk di sebelahnya. Sementara Dira, diajak masuk Bik Mah ke dalam.
"Dira hendak kubawa ke Papua. Aku akan ikut suamiku. Maaf, belum ngabarin papa. Aku sudah menikah sirri dengan Mas Pras. Dia akan dimutasi bulan depan. Aku harap, kamu mengijinkanku untuk membawa Dira serta"
"Suami??" ujarku bergetar. Perlahan, keringat dingin menjalar ke seluruh tubuh.
--
Warkop 1927
Jambangan
20 Des 2015 10:07:47

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun