Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Merah Darah

13 Desember 2015   05:42 Diperbarui: 13 Desember 2015   05:42 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

::Sebuah Cermin
-----
Aku hempaskan tubuhku di kursi ruang tamu. Kepalaku benar benar mau ambrol. Pecah sepecah pecahnya. Kupejamkan mataku. Bunyi tik tok jam dinding membaur dalam aliran darahku. Kutarik nafas sedalam dalamnya. Lalu kuhembuskan perlahan.

Rere. Perempuan entah berantah yang tiba tiba masuk di hidupku. Kira kira lima tahun silam. Pertemuan pertama, aku langsung menyukainya. Matanya benar benar membakar ingatanku. Berhari hari aku kelimpungan. Persis cerita cerita norak di tv.

Pertemuan kedua terjadi sebulan kemudian. Di apotek dekat kontrakanku. Ia duduk di kursi dengan secarik kertas. Ini benar benar mirip sinetron. Bagaimana tiba tiba perempuan itu bisa berkeliaran di tempat yang dekat tempat tinggalku. Apapun itu, aku tak mau melewatkannya. Segera kuhampiri.
,
Rendi. Akronim dari nama kami. Rere-Andi. Setahun dari pertemuan pertama, aku menikahi perempuan yang matanya membakar hatiku itu. Tepat bulan Oktober. Aku menikah sirri dengannya. Perbincangan di apotek menjadi semacam akses hubungan kami selanjutnya. Rere, 19 tahun, berasal dari Malang. Terdampar di Bandung karena kabur dari, ah lagi lagi aku tak akan melanggar janjiku. Janji untuk merahasiakan asal usulnya. Dan, kehadiran Rendi menjadi titik balik hidupku. Aku menjadi ayah. Tiga bulan setelahnya, Rere pergi dari kehidupanku. Tanpa alasan. Persis ketika pertama kali bertemu.

Kubuka mataku. Kubuka lagi buku di meja itu. Kulihat foto keluargaku di dinding. Wajahku tersenyum, di foto itu. Senyum sepuluh tahun yang lalu. Orang tua yang menyayangiku, ternyata menyimpan rahasia yang selama ini ditutup rapat. Tentang siapa aku sebenarnya. Kenyataan yang pahit kendati aku tak kekurangan semuanya. Buku bersampul hitam itu, milik sahabat karib Papa. Sahabat yang menitipkan anak semata wayangnya, saat masih berwarna merah. Sewarna darah.
---
Semut Kali
18 Okt 2015 08:10:52

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun