::Sebuah Cermin
-----
Aku hempaskan tubuhku di kursi ruang tamu. Kepalaku benar benar mau ambrol. Pecah sepecah pecahnya. Kupejamkan mataku. Bunyi tik tok jam dinding membaur dalam aliran darahku. Kutarik nafas sedalam dalamnya. Lalu kuhembuskan perlahan.
Rere. Perempuan entah berantah yang tiba tiba masuk di hidupku. Kira kira lima tahun silam. Pertemuan pertama, aku langsung menyukainya. Matanya benar benar membakar ingatanku. Berhari hari aku kelimpungan. Persis cerita cerita norak di tv.
Pertemuan kedua terjadi sebulan kemudian. Di apotek dekat kontrakanku. Ia duduk di kursi dengan secarik kertas. Ini benar benar mirip sinetron. Bagaimana tiba tiba perempuan itu bisa berkeliaran di tempat yang dekat tempat tinggalku. Apapun itu, aku tak mau melewatkannya. Segera kuhampiri.
,
Rendi. Akronim dari nama kami. Rere-Andi. Setahun dari pertemuan pertama, aku menikahi perempuan yang matanya membakar hatiku itu. Tepat bulan Oktober. Aku menikah sirri dengannya. Perbincangan di apotek menjadi semacam akses hubungan kami selanjutnya. Rere, 19 tahun, berasal dari Malang. Terdampar di Bandung karena kabur dari, ah lagi lagi aku tak akan melanggar janjiku. Janji untuk merahasiakan asal usulnya. Dan, kehadiran Rendi menjadi titik balik hidupku. Aku menjadi ayah. Tiga bulan setelahnya, Rere pergi dari kehidupanku. Tanpa alasan. Persis ketika pertama kali bertemu.
Kubuka mataku. Kubuka lagi buku di meja itu. Kulihat foto keluargaku di dinding. Wajahku tersenyum, di foto itu. Senyum sepuluh tahun yang lalu. Orang tua yang menyayangiku, ternyata menyimpan rahasia yang selama ini ditutup rapat. Tentang siapa aku sebenarnya. Kenyataan yang pahit kendati aku tak kekurangan semuanya. Buku bersampul hitam itu, milik sahabat karib Papa. Sahabat yang menitipkan anak semata wayangnya, saat masih berwarna merah. Sewarna darah.
---
Semut Kali
18 Okt 2015 08:10:52
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H