Kepatuhan sukarela
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berani mengambil risiko. Posisi strategis bapak/ibu sekalian memungkinkan untuk mengambil keputusan yang berdampak langsung bagi keberlangsungan pembangunan. Tiap keputusan politik yang diambil memunculkan opsi tepat sasaran ataupun berakhir gagal. Menyejahterakan atau menyengsarakan. Dalam konteks penganggaran, efisien atau boros.
Nominal anggaran tidak turun dari langit. Pemerintah harus jungkir balik mengumpulkan sen demi sen dengan berbagai formula, strategi dan manuver . Shortfall penerimaan pajak tahun 2015 jelas-jelas berita buruk bagi kita semua. Utang dan pemangkasan anggaran bisa jadi solusi, tapi sampai kapan bisa terus begini. Beban bunga utang saja sudah luar biasa beratnya.
Mari bapak/ibu pemimpin terpilih, bahu membahu dan ikut ambil bagian dalam usaha penyelematan keuangan negara. Jadilah orang terdepan, memberi teladan dalam mewujudkan kepatuhan pajak. Kelak setelah dilantik pada Juni 2016 nanti, beri porsi lebih untuk menggemakan seruan patuh pajak, tidak hanya ikut dalam tatanan seremonial semacam pekan panutan. Bapak/ibu semua pasti sudah punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), identitas perpajakan yang fungsinya bukan hanya untuk memenuhi kelengkapan administratif pendaftaran calon, tapi pintu pertama untuk memberi sumbangsih bagi negara lewat pajak. Untuk ini, saya kira kita semua setuju, pemimpin yang baik adalah wajib pajak yang patuh.
Menjalin mitra dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam usaha optimalisasi penerimaan, pemanfaatan dan pertukaran data hingga imbauan internal kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk lebih taat dan patuh pajak. Atas nama kecintaan pada tanah air, harusnya itu semua mudah dilakukan. Sinergi dalam bentuk bukti nyata, bukan diatas kertas bertajuk Nota Kesepahaman.
Kepemimpinan Ideal
Dalam Falsafah Astra Brata Jawa, Kepemimpinan ideal dijelaskan dengan sangat gamblang, bahwa pemimpin adalah teladan yang mampu memberdayakan, punya karakter kuat agar mampu keluar dari tiap masalah yang dihadapi. Pemimpin bisa datang dan pergi, tapi kepemimpinan itu abadi.
Demokrasi membidani lahirnya pemimpin-pemimpin baru dengan harapan baru.
Pesta (demokrasi) telah selesai, saatnya (sama-sama) bekerja untuk sebuah peradaban yang berkeadilan. Kita semua bisa memilih untuk menjadi Gayus Tambunan yang khianat dan mengkerdilkan amanah, atau menjadi seorang Sigit Priadi Pramudito yang memilih langkah langka, menyerah dengan kepala tegak, mengabadikan legacy untuk kemudian dikenang sebagai pemimpin berjiwa besar.
Bapak Pasha, Bapak Zumi Zola, Ibu Airin dan para pemenang lainnya. Lagu kita masih sama, Indonesia Raya, mari sama-sama kita rawat Indonesia.
Sekali lagi, selamat.