Mohon tunggu...
Maruntung Sihombing
Maruntung Sihombing Mohon Tunggu... Guru - Karya Nyata bukan Karya Kata

Saya seorang guru di Papua, juga suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Norbet Manalu, Guru Teladan dan Pemikir dari Desa Aekraja

17 Januari 2020   16:40 Diperbarui: 17 Januari 2020   16:53 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjumpaan saya dan guru saya waktu SMP di Lapo Lexa dua hari yang lalu rasanya meninggalkan bekas positif sekaligus mendidik. Dulu, posisi kami masih sebatas antara guru dan murid, sekarang berubah menjadi guru senior dan guru junior. Kendati demikian, saya sejak dulu hingga kini selalu menaruh simpati dan rasa hormat yang tinggi untuk beliau meski sudah berada pada posisi yang sama. Karena sejatinya, guru memang harus selalu dipermuliakan meski sudah ujur dan tua.

Beliau adalah Pak Norbet Manalu, yang dulu sering kami juluki Pak NM -- diambil dari singkatan namanya. Waktu saya SMP, setiap guru memang biasa kami juluki dengan singkatan, tak ada maksud selain, selain hanya untuk mudah diingat dan dihafal. Entahlah kalau sekarang. Sampai sekarang pun, saya masih ingat betul semua nama-nama guru saya waktu SMP.

Namun sayang, guru SMP saya tak semua lagi ada, ada sebagian yang sudah pindah tugas, ada juga yang sudah terlebih dahulu dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan tanpa ada maksud membeda-bedakan, karena bagi saya semua memang berkesan karena sudah mendidik saya, Pak Manalu, Pak JP (Kepala Sekolah pada masa saya) dan Pak JS (Guru Matematika) lah yang paling berkesan dan membekas dihati saya. Didikan mereka terasa hingga sekarang. Bahkan, kalau boleh jujur, karena mereka -- mereka juga, salah satu sebab kenapa saya menjadi guru.

Kembali dengan diskusi kami di Lapo itu. Seperti biasa, Pak Manalu  memulai diskusi. Pertanyaannya sedikit tajam, tapi menohok. Katanya,'kutanya lah kalian, siapa lah diantara kalian yang sudah membaca buku hari ini'. Jujur, saya sedikitpun tidak terbayang dalam otakku kalau Pak Manalu akan mengeluarkan pertanyaan setajam itu. Seketika kami menjadi hening, diam. Kami kala itu berada di meja nomor dua. Ada empat orang. Saya, Prima Manalu, Pak Manalu, dan Lae Sinaga.

"Aku baca tulang, tapi dari hape saja, bukan buku" jawabku. Sedang dua teman lainnya diam tanpa menjawab.

"Itulah kelemahan kita sebenarnya" lanjut beliau, "Kalau di Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, mereka dalam setahun bisa menuntaskan puluhan bahkan ratusan judul buku dalam setahun, lah kita, satu saja setahun juga kadang tidak" jelasnya sambil sedikit tertawa.

Pak Norbet Manalu dengan istri waktu studi banding bersama rombongannya ke Singapura | Dokpri
Pak Norbet Manalu dengan istri waktu studi banding bersama rombongannya ke Singapura | Dokpri

Mendengar penjelasan beliau, saya seperti tersadar kembali untuk segera menuntaskan bacaan-bacaanku yang sudah lama tertunda. Di Lapo Lexa memang ada empat meja berjejer rapi. Di meja pertama, ada beberapa doli-doli bernyanyi diiringgi alunan gitar, sambil tuak tersaji di hadapan mereka. Sedang di meja tiga, ada beberapa bapak-bapak yang sedang asik cerita-cerita sambil minum tuak juga. Sedang di meja empat, tidak terlalu banyak, tapi ada pemilik Lapo sedang asik nonton dengan beberapa bapak-bapak.

Tanpa banyak membantah dan berdebat, diskusi pun kembali kami lanjutkan. 

"Jadi menurut saya, sistem pendidikan kita ini sudah rusak, amburadul. Menteri pendidikan yang baru ini juga sedikit 'arogan' dan terburu-buru mengambil keputusan " tambahnya lagi.

"Arogannya dimana, Tulang"

"Dengarlah ya, pertama, menghapus Ujian Nasional. Padahal UN ini kan perlu dibuat supaya ada standar pendidikan kita. Kalaupun ada kecurangan dan ketidakjujuran yang ditimbulkan UN ini, maka di satuan pendidikan yang harus dilakukan pengawasan secara ketat agar UN betul-betul berlangsung dengan jujur dan menjungjung integritas"

"Kedua, wacana menghapus mapel Bahasa Inggris. Ini juga blunder menurutku. Padahal Bahasa Inggris bahasa Internasional. Bagaimana bisa murid hanya dititikberatkan belajar dari android? Lagian anak-anak di Jakarta beda dengan anak-anak macam di Papua dan daerah pedalaman lainnya. Tidak boleh disamaratakan" katanya.

Kami bertiga hanya bisa mengangguk sambil sesekali meneguk tuak yang ada di gelas kami. Kami ibarat seperti berada di ruang kuliah lagi menerima materi yang sangat bernas dan mendidik.

"Jadi apa kira-kira solusi untuk pendidikan kita sekarang, Tulang" tanyaku seolah menyelidik.

"Menurut buku yang saya baca dan pengalaman saya menjadi guru, beban mata pelajaran di sekolah harus dikurangi. Ini sebenarnya sangat penting. Supaya anak-anak tidak terlalu stres dengan banyaknya mata pelajaran yang sebenarnya kurang berdampak dengan kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya masuk jam 07.30 bisa pulang jam 12.00, lalu selebihnya mereka bisa bermain dan membantu keluarganya"

Sekali lagi, kekaguman saya dari dulu dengan pemikiran beliau tidak pernah pudar. Analisisnya tentang pendidikan selalu tajam. Pengetahuannya dan pengalamannya telah membentuk beliau menjadi guru dan pemikir yang mumpuni di kampung kami. Bahkan kedisiplinan dan konsistensinya terhadap waktu dan komitmen tidak bisa ditawar-tawar. Hematku, dia adalah guru yang memberi teladan lewat perkataan dan perbuataan. Seingat saya, waktu saya SMP pun dia bahkan hampir tidak pernah telat datang ke dalam kelas. Guru terdisiplin menurutku kala itu. Menariknya, sampai sekarang pun begitu. Selalu disiplin dengan waktu.

Sharing ilmu dan pengalaman dengan beliau kala  itu bagi saya menjadi sangat berkesan dan menarik. Makanya kalau saya di Lapo, lebih suka ikut nimbrung dengan topik-topik yang mendidik dan membangun ketimbang membicarakan topik untuk menyudutkan dan menyerang pihak tertentu. Narasi-narasi positif seperti itu harus dibangun dan dibudayakan di desa. Itu yang harus dilakukan agar desa bisa terbangun dari segala ketertinggalannya. Karena sesungguhnya masa depan ada di desa, orang-orang hebat lahir dari desa. Sehat dan panjang umur, Pak Manalu***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun