reshuffle (pergantian) kabinet semakin santer terdengar di publik. Hal itu terlihat dari semakin ramenya perbincangan mengenai isu tersebut di media dan linimasa. Termasuk diamini sendiri oleh Presiden Joko Widodo.Dalam satu kesempatan ketika ditanya mengenai pergantian personel menteri, Mantan Walikota Solo itu hanya menjawab diplomatis "khas"-nya, tetapi menunjukkan arah yang kuat. "Mungkin. Ya, nanti", begitu jawabnya saat di peresmian Bendungan Sukamahi, 23 Desember lalu.
IsuTerkait dengan isu resuffle tersebut, menteri-menteri dari Partai NasDem disebut-sebut paling terancam. Ada tiga menteri dari partai pimpinan Surya Paloh tersebut, diantaranya, Menteri Kominfo Johny G Plate, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Alasannya jelas, partai berwarna biru itu telah mendeklarasikan seorang tokoh yang dianggap "berseberangan dengan Istana" sebagai Calon Presiden (Capres), yaitu Anies Baswedan. Sejak deklarasi tersebut, sejumlah pihak mendesak Presiden untuk mendepak partai itu. Yang ironisnya, NasDem merupakan partai yang pertama kali mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres pada 2019 lalu.
Kalau itu benar itu terjadi, alasan reshuffle kabinet kali ini sangat kental dengan aroma politis. Jokowi mengganti menterinya bukan karena kinerjanya yang buruk, tetapi karena alasan politik praktis. Dimana, dirinya tidak suka ada partai yang mendeklarasikan capres di luar orang-orang yang dikehendakinya. Kira-kira bisa kita bayangkan seperti itu.
Dari segi tata negara, pergantian kabinet memang hak preogratif Presiden. Sebab, Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial, dimana Presiden menjadi Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Dia berhak kapan pun mengganti "pembantunya".
Namun, di luar itu, kita juga punya etika politik. Ini yang akan terasa "tidak elok" bila Presiden mengganti menterinya "hanya" dengan suka atau tidak suka (like and dislike). Di sisi lain, akan mengingkari perkataan Presiden Jokowi sendiri saat awal menjabat dulu, dimana dia akan mementingkan urusan kinerja atau keahlian menteri dibandingkan persoalan politik.
Apalagi tahun depan menurut beberapa kalangan merupakan tahun yang berat. Ancaman resesi karena dinamika geopolitik global masih menghantui dunia. Belum lagi stabilitas politik di kawasan. Di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, Presiden harus mengedepankan stabilitas di atas urusan politik.
Mendepak Partai NasDem di saat situasi seperti itu justru akan blunder. Seolah Jokowi benar-benar menantang Surya Paloh perang terbuka. Dan ini akan membuat stabilitas politik justru terganggu.
Jadi, hemat saya, resufflle di tengah situasi gonjang-ganjing dunia saat ini justru lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya. Karena kabinet butuh penyesuaian ulang, sedangkan tantangan berada di depan mata persis. Tak mudah membangun agenda bersama dan sinkronisasi saat komposisi kabinet berubah.
Saya sendiri berkeyakinan watak Presiden Jokowi bukan seperti itu. Apalagi Surya Paloh dan NasDem pernah disebut sebagai "sahabat"-nya. Agak sulit membayangkan seorang Jokowi tega menghabisi "sahabatnya" sendiri saat ini, apalagi NasDem masih kukuh berkomitmen mendukung Jokowi sampai 2024.
Tapi kalau reshufflle benar-benar terjadi, berarti memang benar bila politik bisa mengubah watak seseorang. Ambisi politik akhirnya membuka tabir asli dirinya selama ini, dimana ia akan menyingkirkan siapapun, meski sahabatnya, ketika keinginannya tidak terpenuhi atau kepentingannya berbeda.
Akhirnya tiba pada suatu pertanyaan, "Apakah slogan politik selama ini benar, bahwa tidak ada teman dan lawan abadi dalam politik kecuali kepentingan yang abadi?"Â
Jika itu terjadi pada Jokowi, maka sangat disayangkan. Orang yang kita anggap merakyat dan terlihat tanpa kepentingan, ternyata bisa berubah total. Di sini publik akan melihat legacy Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H