Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua dan Papua Barat menjadi pembicaraan hangat kembali. Pasalnya, menurut UU No. 21 Tahun 2001, otonomi khusus ini akan berakhir pada tahun depan.
Pro dan kontra pun sempat mewarnai linimasa di media sosial. Sebagian pihak, terutama kelompok yang menginginkan kemerdekaan, menolak perpanjangan kebijakan ini. Mereka menganggap Otsus telah gagal dan tidak bermanfaat bagi masyarakat Papua.
Namun dari sisi pemerintah tetap akan memberlakukan kebijakan ini, setidaknya untuk 20 tahun ke depan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tetap akan memberlakukan Otsus di Papua dan Papua Barat. Tak ada narasi diperpanjang atau dihentikan saat ini.
Karena yang ada hanyalah revisi untuk Pasal 34 UU No. 21/2001 guna memperpanjang Dana Otsus-nya saja. Dan perubahan Pasal 76 tentang pemekaran wilayah, dimana rencananya tanah Papua akan dimekarkan menjadi lima Provinsi.
Adapun kebijakan Otonomi Khusus sendiri adalah amanat Undang-Undang yang harus tetap dijalankan pemerintah. Ini adalah bagian dari upaya untuk menyelesaikan masalah di Papua dan Papua Barat dengan damai.
Dalam sejarahnya, Otsus sendiri merupakan kesepakatan bersama dalam Kongres Rakyat Papua tahun 2000 lalu. Otsus dianggap sebagai sebuah "win-win solution" dan menjadi solusi politik bagi persoalan di Papua.
Melaui kebijakan Otsus ini, masyarakat Papua dan Papua Barat diberikan kewenangan lebih untuk mengatur daerahnya sendiri, sekaligus juga terdapat penghormatan hak dasar bagi orang asli Papua.
Tak hanya itu, pemerintah juga mengucurkan dana otonomi khusus atau Dana Otsus untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Sepanjang 2002-2020, total dana Otsus yang dicairkan pemerintah sebesar Rp 126,99 triliun. Dana itu ditujukan utamanya untuk empat hal, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan perekonomian rakyat.
Pengelolaan dana itu pun menjadi kewenangan khusus Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Harapan dengan begitu, Papua dan Papua Barat bisa tumbuh setara dengan daerah lainnya. Dan, tak kalah pentingnya adalah adanya pengakuan hak sosial-budaya pada masyarakat Papua dan dorongan untuk berdaya di tanahnya sendiri.
Sedikit demi sedikit hal itu pun menunjukan hasilnya. Misalnya, bila dilihat dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ada peningkatan yang signifikan. IPM di Papua meningkat dari nilai 54,45 tahun 2010 menjadi 60,84 pada 2019. Sedangkan, IPM di Provinsi Papua Barat meningkat dari 59,60 tahun 2010 menjadi 65,09 tahun 2020.
Tumbuhnya IPM tersebut seiring dengan meningkatnya Umur Harapan Hidup di Papua dari 64,31 tahun (2010) menjadi 65,79 tahun (2020); sedangkan di Papua Barat dari 64,59 tahun (2010) meningkat 66,02 tahun (2020).
Kemudian, angka rata-rata lama sekolah juga meningkat sebagai indikator perbaikan mutu pendidikan, dimana peningkatan di Papua dari 5,59 tahun (2010) menjadi 6,69 (2020); dan Papua Barat dari 6,77 tahun (2010) meningkat 7,60 tahun.
Sedangkan angka Kematian Ibu (AKI) turun. Di Provinsi Papua dari angka 575 per 100 ribu kelahiran hidup (2013) menjadi menjadi 380 per 100 ribu kelahiran hidup (2017).
Hal serupa juga terjadi untuk Angka Kematian Balita (AKB) yang mengalami penurunan dari 54 per 1.000 kelahiran hidup (2013) menjadi 13 per 1.000 kelahiran hidup (2017).
Gizi buruk di Papua juga tercatat mengalami penurunan dari 21,6 persen (2013) menjadi 7,7 persen (2017). Dan, cakupan imunisasi meningkat dari 57,5 persen (2013) menjadi 67 persen (2017).
Tingkat kemiskinan pun turun signifikan. Prosentase kemiskinan di Papua turun dari 30,66 persen (2012) menjadi 26,55 persen (2019); sedangkan di Papua Barat dari 27,04 persen (2012) menurun jadi 21,51 persen (2019).
Paparan data di atas sebenarnya tidak berbicara apa-apa, kecuali menunjukan bahwasanya kebijakan Otsus benar-benar memperbaiki kondisi masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Dan yang terpenting, hal itu bisa memunculkan perasaan adil bagi masyarakat Papua. Bahwa pada dasarnya mereka kini tak lagi ditinggal sendiri.
Meski begitu, kita juga tak menutup mata adanya kekurangan dalam pengelolaan dana Otsus selama ini. Berbagai masalah seperti korupsi, penyelewengan dana, dan program yang tidak tepat guna harus dievaluasi menyeluruh. Inilah yang harus diperbaiki bersama.
Namun menurut saya tidak ada yang salah dengan konsep kebijakan Otsus itu sendiri. Malah ini terbukti sangat efektif membantu meningkatkan kesejahteraan dan adanya pengakuan martabat bagi masyarakat Papua.
Jadi kalau ada yang kurang dalam pelaksanaan Otsus itu, maka harus diperbaiki kekurangannya. Bukan malah ditolak konsepnya, atau memilih untuk memisahkan diri. Ibaratnya ada tikus di lumbung padi, maka yang harus diberantas itu tikusnya, bukan malah membakar lumbungnya.
Semoga para pemimpin kita bisa memikirkan masalah Papua ini dengan jernih dan solutif. Karena pada dasarnya Papua adalah saudara sebangsa dan setanah air, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H