Dalam sebuah pepatah disebutkan "Happiness is not something ready made. It comes from your own actions." Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau siap digunakan, kebahagiaan adalah hal yang datang dari apa yang dilakukan atau diamalkan. Pepatah ini memiliki pesan dan mengandung arti yang dalam untuk memaknai kebahagiaan dalam hidup.
Secara pragmatis seringkali kebahagiaan dimaknai sebagai perasaan senang. Senang ketika segala keinginan dapat terpenuhi. Senang ketika segala fasilitas dapat dimiliki. Senang ketika harta melimpah ruah dapat digenggam oleh jari jemari ini. Pemahaman seperti ini menjadikan kebahagiaan dimaknai hanya sebagai bentuk hasil dari pemenuhan kebutuhan jasadi semata dan diinterpretasikan dalam gaya hidup hedonis yang jauh dari nilai kesederhanaan.
Imam Syafi'i pernah menyampaikan "Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia, maka hendaknya dengan ilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat, maka hendaknya dengan ilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) keduanya (dunia dan akhirat) maka hendaknya dengan ilmu."
Apa yang disampaikan diatas merupakan bagaimana hendaknya manusia dapat meraih kebahagiaan. Bahagia yang sesungguhnya, bahagia yang tidak hanya nampak oleh mata indera manusia, tapi juga kebahagiaan yang nampak oleh mata hati manusia.
Kita hendaknya mampu menjalani hidup ini dengan ilmu, ilmu disini bukanlah sebatas ilmu akademis yang kita dapatkan di bangku sekolah. Ilmu merupakan segala hal yang dapat mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran akan kewajiban diri kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada seisi alam ini merupakan cara agar kita dapat meraih kebahagiaan.
Seluruh manusia di dunia ini memiliki fitrah atau kodrat yang sama. Sama-sama menyukai kebaikan, sama-sama menyukai keindahan dan seluruh manusia di dunia ingin hidup dalam kebahagiaan. Manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki kodrat untuk saling berinteraksi satu sama lain. Manusia hidup bersama-sama dan saling tolong menolong dalam memenuhi segala hajat hidupnya. Bayangkan jika kita hidup sendiri tanpa peduli dengan sekitar kita, bahkan dalam cerita Tarzan manusia yang hidup di hutanpun tetap berinteraksi dengan makhluk lain di sekitarnya.
Manusia sejatinya hanya makhluk ciptaan Tuhan yang lahir ke dunia dalam keadaan lemah. Kemudian Tuhan memberinya daya untuk tumbuh dan berkembang dan pada akhirnya manusia akan kembali ke dalam keadaan lemah. Hidup yang singkat ini tentu harus diisi dengan amal perbuatan yang baik dan juga dijalani dengan penuh kebahagaiaan.
Tak jarang kita melihat kehidupan orang-orang yang memiliki banyak harta sebagai bentuk ideal kebahagiaan. Ketika kita memiliki uang seakan kita dapat melakukan segala hal, bahkan kita dapat memberi kebahagiaan kepada orang lain dengan berbagi uang atau benda lainnya. Namun janganlah berpikir sempit dengan menganggap harta benda sajalah yang menjadi sumber kebahagiaan. Seperti pepatah yang disebutkan sebelumnya bahwa kebahagian merupakan hasil dari apa yang kita lakukan. Bersikap ramah, berbagi senyuman saja sudah dapat menjadi bentuk kebahagiaan yang juga dapat dirasakan tidak hanya oleh diri sendiri, tapi dapat dirasakan oleh orang lain di sekitar kita.
Apalagi kita yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk dapat mengenyam pendidikan, tentu merupakan salah satu harta yang sangat berharga. Berharga karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan formal. Bukan karena biaya yang dia tidak punya tapi juga karena sarana dan faktor lainnya yang menjadikannya tidak dapat mengenyam pendidikan yang menjadi haknya.
Aku sendiri adalah seorang guru yang belum lama berkecimpung dalam dunia pendidikan. Namun tak terelakkan bahwa aku telah mengenyam bangku pendidikan formal baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Aku tinggal di lingkungan yang mayoritas berbeda agama denganku. Namun kerukunan sangat terjalin dengan baik dari dulu tanpa ada konflik sedikitpun.
Teringat akan masa kecil diriku dulu yang sulit untuk mendapatkan pelajaran atau bimbingan akan pelajaran-pelajaran agama Islam saat masih di sekolah dasar. Bahkan menulis dan membaca Al-Qur'an belum bisa aku lakukan saat sudah masuk bangku SMP. Pelajaran agama Islam hanya bisa aku dapatkan dalam satu kali dalam seminggu dan itu diluar jam sekolah. Meskipun begitu hal itu sangat membantuku saat kecil dulu, bahkan aku tak akan lupa dengan guru agama semasa kecilku dulu.
Saat ini di tempat tinggalku telah banyak perantau yang datang, bahkan tak sedikit mereka yang datang dengan anggota keluarga mereka. Mereka juga turut mengajak anak-anak mereka merantau sebagai wujud kasih sayang dan keutuhan keluarganya. Anak-anak merekapun bersekolah di sekolah dekat tempat tinggal mereka yang tidak dapat memberikan pelajaran agama Islam yang mereka anut karena keterbatasan sumber daya guru. Hal inilah yang mengingatkanku akan masa kecilku dulu yang juga sama seperti mereka.
Jika aku lihat gajiku sebagai seorang guru swasta memanglah tidak begitu besar, namun aku sedikitpun tidak mengharapkan bayaran dari pembelajaran yang kuadakan untuk mereka yang ingin belajar agama dan baca tulis Al-Qur'an. Pernah salah satu orang tua mereka menanyakan biaya belajar bersamaku, dan kujawab "tidak bu, tidak perlu bayar bu, ini semua saya niatkan untuk amal jariyah saya dan istri saya." Aku tak dapat berbagi uang kepada sekitarku, aku juga tak dapat memberi kebahagiaan dengan harta benda, dan aku tak dapat menyantuni mereka dengan sandang pangan.
Namun aku ingin berbagi, memberi dan menyantuni anak-anak yang ada di tempatku dengan ilmu yang aku miliki. Semangat mereka untuk belajar serta dukungan orang tua mereka yang rela mengantarkan anak-anaknya untuk belajar di tempatku menjadi sebuah kebahagiaan yang tidak dapat dibeli dengan apapun. Bahkan dengan kegiatan ini Tuhan menganugerahiku dengan berbagai kenikmatan yang nyata, kenikmatan lahir dan kenikmatan batin yang tak terduga dari arah mana datangnya.
Kebahagiaan tidaklah hanya tentang harta. Kebahagiaan merupakan rasa tenteram yang ada di dalam hati, yang menjadikan hati penuh dengan keikhlasan dan rasa syukur akan segala apa yang didapat dan apa yang dapat dilakukan. Kebahagiaan ini kemudian dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk aksi-aksi, amal perbuatan baik yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, namun juga dapat memberi dampak positif pada orang lain dan lingkungan di sekeliling kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H