Internet saat ini sudah menjadi kebutuhan setiap orang. Memilih kartu provider yang tepat akan memudahkan dalam kehidupan.
Saat pandemi COVID-19 ini, kita harus pandai mengelola keuangan. Tak terkecuali urusan teleponan hingga internetan.
SIM Card Anak Alay
Sejak awal aku mengenal kartu SIM Tri selalu identik dengan kartu anak alay. Biasanya kartu SIM ini dipakai anak-anak sekolah atau remaja tanggung.
Wajar sih karena kartu Tri menawarkan paket berlimpah dengan harga murah. Dengan kocek sedikit, pengeluaran bulanan pun semakin irit.
Bagi kalangan remaja tanggung, pilihan ini memang paling tepat. Tak perlu merengek ke orang tua untuk meminta paket kuota super hemat.
Apalagi remaja tanggung saat ini sedang kecanduan game online. Kuota berlimpah dengan harga murah tentu menjadi pilihan bagi mereka yang enggak mau susah.
Kartunya Para Office Boy
Tahun lalu, aku diminta membelikan jam tangan pintar oleh salah satu office boy di kantor. Demam jam tangan pintar ini merambah anak usia dini. Orang tua yang tidak biasa dengan perkembangan teknologi pun kelabakan. Si anak meminta dibelikan hanya karena tak ingin dibilang kampungan oleh teman sekelasnya.
Masalahnya, jam tangan pintar itu seharga gaji sang ayah selama sebulan. Bisa habis tanpa menyisakan untuk kebutuhan harian.
Aku pun diminta mencarikan produk serupa tapi harganya sangat miring. Istilahnya, aku diminta mencari produk KW super. Di toko daring (online), aku mendapatkan hanya Rp 300 ribu. Harga itu sangat murah bila dibandingkan harga produk aslinya sekitar Rp 3,5 juta.
Problem tak berhenti di situ. Untuk bisa disebut jam tangan pintar, produk tersebut harus diisi dengan kartu SIM untuk melacak posisi seseorang. Sekaligus bisa teleponan dengan anak. FYI, si office boy ini bekerja di Jakarta. Keluarga serta anaknya di Bogor. Seminggu sekali dia balik ke Bogor untuk menengok anak dan istrinya.
Dengan membeli jam tangan pintar ini, dia berharap bisa mengawasi anaknya dengan gampang. Kalau ada apa-apa bisa langsung teleponan tanpa perlu membelikan ponsel. Jadi ingat walkie talkie zaman dulu. Cuman jam tangan ini lebih kekinian.
Si office boy ini memintaku untuk membelikan kartu SIM sekaligus, tapi dengan budget hanya Rp 5.000. Duh, harus pintar-pintar cari kartu SIMÂ deh. Ternyata aku gagal mendapatkannya. Rata-rata dijual Rp 10.000-an. Itu pun kadang hanya berisi pulsa Rp 2.000.
Naasnya lagi, kartu SIM tersebut harus diisi paket internet untuk benar-benar bisa dipakai mengecek lokasi si anak. Si office boy ini pun kembali kelabakan. Uangnya sudah habis untuk persediaan makan sebulan. Tapi dia juga tidak ingin dibilang tidak sayang anak kalau tidak membelikan barang keinginan putri bungsunya itu.
Akhirnya si office boy ini menawarkan untuk membeli kartu SIM Tri karena anak sulungnya yang masih sekolah di bangku SMP juga pakai. Aku pun menyetujuinya, termasuk mencarikan paket internet murah. Btw, semua barang tadi utang ke aku. Nanti bulan berikutnya dibayar dengan mencicil sekian bulan. Jadi aku harus hati-hati menawarkan paket. Jangan sampai dia tidak bisa membayar.
Nomor Tidak Cantik
Aku sejak awal juga malas untuk melirik kartu Tri Indonesia ini. Nomor yang kini tersedia memiliki 12-13 digit dengan angka tak beraturan. Istilah sang penjual, nomor kartunya tidak cantik. Jadi dijual ala kadarnya.
Ini yang bikin aku malas untuk menghapal, apalagi kalau ditanya nomor ponsel ke teman. Begitu pun saat menaruhnya di kartu nama. "Kok banyak sekali nomornya? Salah kali menulisnya?"
Belum lagi cibiran kartu SIM anak alay dan kartunya para office boy. Makin jatuh deh harga diri gue sebagai seorang pekerja kantoran.
Untuk membeli kartu perdana, biasanya penjual hanya menaruh ala kadarnya di pojokan. Tak ditaruh eksklusif seperti kartu provider lain. Seakan mencirikan "Ah, yang beli biasanya kan anak remaja tanggung atau office boy". Berapa sih kemampuan daya belinya? Maksimal dijual Rp 10.000 pun kadang masih ditawar. Begitulah keluhan salah satu pedagang yang kutemui di sekitaran Senen, Jakarta Pusat.
Karma Menghina Anak Alay dan Office Boy
Pandemi COVID-19 ini mengajarkan kita tentang banyak hal kehidupan. Mulai dari pentingnya menjaga kesehatan, pola makan, bekerja, bersekolah, berjualan hingga aktivitas lainnya yang membutuhkan interaksi dengan orang lain.
Sejak wabah mematikan ini menyerang Indonesia awal Maret lalu, kehidupanku juga berubah. Aku mulai mengurangi keluar rumah, bahkan untuk nongkrong di kafe atau menonton film di bioskop.
Untuk bekerja pun, perusahaan mulai mewajibkan work from home (bekerja dari rumah). Otomatis, semua koordinasi kerjaan dilakukan secara online.
Stres kembali meradang. Apalagi kita dikurung selama hampir 4 bulan untuk tidak banyak beraktivitas di luar rumah. Yang menyakitkan, ini kali pertama aku Lebaran di Ibu Kota, jauh dari keluarga di Pulau Jawa.
Makin mengenaskan lagi, perusahaan memutuskan untuk mengurangi karyawan pada Juni lalu. Kini statusku menjadi pengangguran. Mungkin inilah karmaku karena menghina anak alay dan office boy.
Hemat Kuota Paket Internet
Berstatus pengangguran korban PHK tak memicu aku berhenti berusaha. Dua bulan lalu, aku meminta teman untuk membelikanku sebuah kartu SIM. Tentu yang banyak kuota, sehingga hemat pengeluaran.
Aku sempat kaget saat dibelikan kartu SIM Tri Indonesia. Sejak awal aku sudah mengenalnya sebagai kartu anak alay, kartunya office boy, dan nomornya tidak cantik sama sekali.
Namun akibat tiada pemasukan sama sekali, aku harus putar otak agar tetap menghasilkan cuan selama pandemi. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan ini.
Saat mengunduh aplikasi bima+, aku terkejut dengan beragam paket kuota yang ditawarkan. Semua harga paket terjangkau, mulai untuk kalangan anak alay, office boy, atau tukang unduh dan streaming film kayak gue.
Dengan produk AlwaysOn, aku bisa membelikan paket internet 1,5GB dengan masa aktif selamanya untuk anak si office boy di kantorku. Harga paketnya cuma Rp 15.000. Sang ayah pun kini tak khawatir lagi dengan anaknya di Bogor.
Aku juga membelikan paket kuota serupa untuk sang bunda di Jawa Timur. Biasanya paket kuota 2GB juga tidak habis sebulan. Kalau pun disuruh mengisi paket Rp 19 ribuan pun tak masalah. Kan demi menjaga silaturahmi dan akhirnya aku bisa #KalahkanJarak dengan orang tua. Cukup video call dengan orang tua, rindu tak pulang kampung bisa kembali terobati dengan sempurna.
Bersyukur juga, lokasi kampungku dekat dengan Kampung Inggris di Kota Pare, Kediri yang sudah masuk Jaringan 3 Indonesia. Semua panggilan telepon dan internet pun tak ada hambatan di sana.
Biar semakin produktif mencari cuan, aku juga harus tetap kreatif menghasilkan pendapatan. Paket yang kubeli hanya Rp 117.000 dengan kuota 117 GB untuk sebulan. Harga paket itu jauh lebih murah dari pengeluaran biasa yang mencapai Rp 200 ribu dengan kuota hanya 50GB-an.
Dengan kuota itu, aku gunakan untuk trading saham di pasar modal, ngeblog, ikut webinar, hingga ikut kursus daring.
Sebagai hiburan, aku langganan paket streaming film. Paket ini mengobati kerinduanku untuk nonton film di bioskop atau mencari Wi-Fi dengan nongkrong di kafe kekinian.
Saking asyiknya, tak terasa aku sudah habis 55GB hanya dalam 25 hari. Kuota masih tersisa banyak. Jadi aku tidak merasa stres selama pandemi dan menjadi pengangguran. Toh masih banyak cuan lain yang bisa aku hasilkan.
Urusan nomor cantik, ternyata kita bisa membeli nomor cantik Tri sesuka kita di website Tri. Cukup dengan 4 langkah mudah, kita akan dapat nomor cantik dan dikirimkan langsung ke rumah kita. Praktis.
Kenapa sekarang aku baru tahu? Menyesal tidak mengenal Tri sejak dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H