Thomas menyebutkan, harga daging sapi di Malaysia bisa lebih murah karena mereka efisien. Infrastruktur di Malaysia dan Singapura begitu tertata sehingga biaya distribusi murah. “Di sana tidak macet. Pasti biaya angkut beda (tentu lebih murah),”kata Thomas.
Di luar negeri, pengangkutan sapi ke rumah potong hewan (RPH) tidak perlu distribusi panjang. Beda dengan Indonesia yang harus seakan impor sapi dari Nusa Tenggara Timur serta daerah lain untuk memasok daging sapi ke Ibu Kota.
Apalagi RPH di luar negeri lebih modern karena memotong hewan memakai mesin sehingga mampu mengolah ratusan karkas per jam. “Di sini kita harus asah pisau dulu. Kita sangat lamban sehingga biaya per unit berbeda,”ujarnya.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga di masa mendatang, pemerintah terutama Kementerian Perdagangan akan mendatangkan importasi sapi bakalan sehingga bisa dikembangkan di Tanah Air.
Thomas mengakui peternakan rakyat di Indonesia mampu menggemukkan (feedlot) sapi secara bagus sehingga industri tersebut layak dikembangkan di masa mendatang. Pemerintah pun telah membuat proyek uji coba di Bogor terkait penggemukan sapi.
Thomas menilai, sinergi dengan Australia atau negara lain terkait sapi juga terus digalakkan. Australia dinilai unggul dalam pembibitan sapi. Di dalam negeri pun kini sudah unggul dalam pemotongan.
“Kalau di sini nanti RPH sudah bagus, bisa memotong sapi sendiri sehingga menciptakan lapangan kerja. Saya lebih suka kedaulatan pangan,”ujarnya.
Terkait infrastruktur, pemerintah telah membangun tol laut sehingga memudahkan pengiriman barang, khususnya daging sapi melalui kapal laut. Biaya pengadaan lebih bisa ditekan.
Lama bongkar muat di pelabuhan (dwelling time) pun ditekan sehingga juga memangkas biaya. Pasokan barang pun bisa segera dikirim ke pasar. Hal ini memangkas rantai pasok distribusi barang sehingga tidak ada permainan pedagang.
Sistem pergudangan ke depan juga terus diperbaiki untuk mengantisipasi pasokan daging sapi yang terus melimpah, termasuk gudang untuk bahan pangan lainnya.