Mohon tunggu...
Didik Purwanto
Didik Purwanto Mohon Tunggu... Administrasi - Tech Buzz Socialist

https://www.didikpurwanto.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Komposter, Solusi Atasi Sampah Rumah Tangga

24 Desember 2015   23:51 Diperbarui: 25 Desember 2015   06:15 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tempat Penampungan Sampah Sementara di Kenari, Salemba, Senen, Jakarta Pusat"][/caption]

Sampah sejak dulu hingga kini belum mendapat solusi pasti. Beragam teknologi mulai dihadirkan untuk mengurangi masalah sampah, khususnya di perkotaan.

Kepala Dinas Tata Kota Bangunan dan Pemukiman Kota Tangerang Selatan Dendy Priandana mengatakan, sampah di wilayahnya kini menjadi masalah besar. Tangerang yang menjadi pintu masuk ke Jakarta karena Bandara Soekarno-Hatta ada di Cengkareng, Tangerang mewajibkan segera menyelesaikan masalah tersebut.

Kini Tangerang Selatan memiliki luas 14.700 hektare dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Dengan pertambahan penduduk, masalah terutama sampah pun semakin bertumpuk.

Ia pun mencoba menyelesaikan masalah sampah dengan membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA), khususnya dengan memecah dari batasan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Namun Tangerang Selatan juga memiliki masalah lagi yaitu lahan yang notabene tak bertambah. Apalagi banyak wilayah kini dikembangkan menjadi pemukiman sehingga menyulitkan mengubah lahan kosong menjadi TPA.

“Kini kami mulai membebaskan lahan seluas lima hektare untuk TPA tersebut,”katanya.

Ia mencontohkan, masalah sampah paling banyak ada di Pasar Jombang dan Pasar Ciputat. Ia kini sedang menyusun rencana untuk merapikan pasar tersebut, khususnya mengubah penyelesaian masalah sampahnya.

Ia pun membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk pengelolaan sampahnya. Dinasnya menggaji pekerja tersebut namun masyarakat masih enggan bekerja maksimal.

Ia pun membentuk bank sampah untuk menampung sampah-sampah yang berasal dari masyarakat sebelum dibuang ke TPA atau diolah kembali.

“Masalahnya KSM ini tidak berjalan sesuai rencana meski kami sudah membantu Rp 10 juta per KSM,”katanya.

Ia pun sudah membangun insinerator untuk mengolah sampah-sampah tersebut. Namun dampak dioksin dari asap pembakaran sampah ini baru bisa hilang jika dipanaskan kembali dalam suhu tertentu. Zat dioksin tersebut berbahaya bagi manusia.

Ia pun sudah mengunjungi Singapura dan Korea Selatan untuk studi banding terkait insinerator. Namun hasilnya belum signifikan.

“Sampah di luar negeri beda dengan Tangerang. Di sana mereka sudah memilah mana sampah basah dan mana sampah kering sehingga pembakarannya gampang. Di sini semua sampah campur aduk sehingga biaya pembakaran sampah melalui insinerator tinggi,”katanya.

Ia menilai memakai insinerator tidak memiliki dampak ekonomis bagi warga sehingga masih kurang cocok bagi masyarakat Tangerang Selatan. Namun ia menilai pemberdayaan masyarakat melalui KSM pun belum jalan signifikan.

Video pemaparan penanganan sampah di Tangerang Selatan bisa dilihat di sini.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyart (PUPR) Ari Setiadi Moerwanto mengatakan, sekitar 57 persen penduduk Indonesia berada di Jawa. Dengan kondisi itu memiliki dampak beragam, khususnya terkait sampah.

Ia menceritakan, dulu Tangerang menjadi daerah irigasi dan masih banyak lahan pertanian. Namun kini mulai berubah menjadi industri dan kawasan pemukiman.

"Ini harus diselesaikan. Di Indonesia, pulau paling subur adalah Jawa. Kalau berubah fungsi, ketahanan pangan kita terancam,” kata Ari.

Kementerian PUPR lantas menghadirkan inovasi dengan membangun 35 pusat-pusat pengembangan wilayah di seluruh Indonesia. Harapannya, masyarakat bisa berpencar dan tidak berkumpul di Pulau Jawa.

“Kita mulai memberikan kemudahan transportasi, logistik, dan lainnya. Ini untuk memudahkan pengaturan. Seberapapun dan apapun teknologi yang dikembangkan, teknologi itu tidak akan mampu mengatasi penduduk yang terkonsentrasi,” katanya.

Lantas Kementerian PUPR pun membuat solusi dengan menghadirkan komposter pengolah sampah. Namun secanggih-canggihnya pemerintah menghadirkan solusi untuk mengatasi sampah, akan sangat tidak berguna bila tidak melibatkan masyarakat.

Komposter adalah alat untuk pengolahan sampah organik rumah tangga melalui pengomposan dengan memanfaatkan tong bekas yang dibenamkan ke dalam tanah.

[caption caption="Ilustrasi komposter"]

[/caption]

Sistem kerja komposter yaitu mengolah sampah dapur (45-53 persen) dari sampah rumah tangga, mengalami proses pembusukan dengan bantuan mikroorganisme dari sampah dan yang berada di dalam tanah, kapasitas mencapai 200 kg sampah dan dapat dioperasikan untuk penampungan sampah 7- 12 bulan per Kepala Keluarga, khususnya 5-6 orang, lama proses pengomposan 4-6 bulan setelah terisi penuh, serta mampu menghasilkan kompos yang baik untuk tanaman dan tidak membahayakan lahan.

Alat yang digunakan pun hanya tong plastik bekas berukuran 50 x 80 cm, pipa PVC D.4”serta kerikil.

Cara ini dinilai paling sederhana diterapkan di masyarakat, mulai dari lingkungan terkecil. Di perkotaan, Kementerian PUPR pun sudah menyediakan bak sampah baik organik dan nonorganik. Nantinya sampah-sampah tersebut akan diolah sesuai alat pemilahan sampahnya.

Kementerian PUPR pun memiliki alat Tungku Sanira (Tungku Pembakaran Sampah Nir Racun). Keunggulannya bisa mengolah sampah kecuali logam dan kaca, luas lahan 5 x 10 meter dengan jarak ke pemukiman tidak kurang dari 10 meter, biaya operasional Rp 15 ribu per meter kubik sampah, hemat energi (karena hanya menghabiskan 6.000 watt), mampu beroperasi 24 jam, kecepatan bakar dua meter kubik per jam dengan kadar air kurang dari 40 persen, dan bahan komponen tungku merupakan produk lokal.[caption caption="Tungku Sanira"]

[/caption]

 

Selain itu, Kementerian PUPR memiliki solusi dan inovasi menekan sampah dari masyarakat dengan TPA Semi Aerobik dan Teknologi Revitalisasi TPA Open Dumping.

“Kami memulai sosialisasi mengatasi sampah dari ibu-ibu dengan mengajak memilah sampah organik dan nonorganik mulai dari rumah tangga. Kami pun menyosialisasikan penanganan sampah dengan 3R (reduce, reuse, dan recycle)."
Nantinya untuk sampah basah masih bisa diolah menjadi kompos. Untuk sampah kering bisa dipilah dengan 3R tadi.

Menurut dia, sampah yang paling susah diurai bila ditimbun ke tanah yaitu plastik. Sampah ini pun bila dibuang ke sungai juga menjadi masalah, khususnya bagi pompa penyedot air yang digunakan saat banjir.

“Plastik ini kalau menempel di saringan pompa banjir akan susah untuk membersihkan. Kita harus hentikan penggunaan pompa untuk membersihkan plastik tersebut sehingga mengurangi efektivitas pemakaian pompa,”katanya.

Ia memisalkan saat banjir DKI Jakarta mengoperasionalkan 24 pompa penyedot air. Namun bila 12 pompa dimatikan seiring masalah plastik yang mengganggu pipa saringan atau pipa air tentu akan menyulitkan dinas terkait untuk menyedot kawasan yang terkena air.

“Kuncinya disiplin. Jangan buang sampah di sungai. Selama ini kita masih manja, apalagi urusan sampah. Padahal bila masyarakat mau disiplin dengan membuang sampah pada tempatnya, tentu banjir tidak akan terjadi,” kata Ari. Video penjelasannya ada di sini.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun