[caption caption="Salah satu adegan saat Wai-hung mengajar lima muridnya"]
Selepas mundur, ia ingin liburan dengan suaminya, Dong. Ia ingin menghilangkan penat yang selama ini menghantuinya.
Namun saat berolahraga, Wai-hung melihat reportasi di televisi yang menayangkan sebuah sekolah taman kanak-kanak (TK) yang akan ditutup karena hanya memiliki lima murid.
Ia merasa tersentuh melihat tayangan tersebut. Apalagi sekolah yang berada di desa terpencil itu membutuhkan seorang kepala sekolah baru meski hanya digaji HK$ 4.500 (sekitar Rp 7.500 juta).
Tentu pendapatannya sangat jauh bila dibandingkan saat menjadi kepala sekolah. Apalagi dalam perjalanan memimpin sekolah tersebut, ia diiming-imingi menjadi guru les dengan bayaran HK$ 10 juta (sekitar Rp 17,5 miliar per tahun) dari sebuah yayasan. Artinya, per bulan ia mendapat bayaran Rp 1,4 miliar.
"Anda mau membuat sekolah atau bank. Guru adalah pekerjaan berarti. Tugas guru mendidik anak bukan menganakkan uang," kata Wai-hung kepada rekan yang kebetulan mengajaknya menjadi guru les dengan bayaran tinggi itu.
Dalam perjuangan memimpin sekolah yang diisi lima murid dan kebetulan perempuan semua, Wai-hung juga memiliki kendala. Orang tua murid yang kebetulan tak mampu dan memahami pendidikan justru menghalangi sang anak untuk sekolah.
Ada yang menjadi korban perseteruan keluarga, menjadi salah satu tulang punggung keluarga, harus membantu orang tua, hingga trauma karena orang tuanya telah meninggal.
Di sini, peran sebagai guru tak hanya sebatas guru di sekolah. Menjadi guru harus mampu menjadi orang tua di sekolah.
Wai-hung berhasil mencontohkan hal tersebut. Ia diceritakan mendatangani setiap keluarga sang anak dan langsung berbicara dengan keluarganya. Di sini ia bisa mengetahui masalah yang dihadapi muridnya sekaligus mencari solusinya.
"Di sini saya bisa belajar berkomunikasi dengan anak-anak. Anda perlu bersikap seolah-olah Anda sejajar dengan mereka dibandingkan pendekatan atas bawah," katanya.