Setiap pekerjaan pasti ada keuntungan dan risikonya. Tak terkecuali bagi petani kopi.
Saat ini, Indonesia masih menempati peringkat ketiga terbesar di dunia dari segi hasil produksi kopi sekitar 657 ribu ton. Namun bila tidak dipertahankan, produksi kopi domestik akan tertinggal dengan negara lain.
Apalagi hasil produksi kita masih tertinggal dengan Vietnam sekitar 1,32 juta ton dan Brasil sekitar 3,049 juta ton tahun lalu.
Di bawah Indonesia, Kolombia mengontribusikan sekitar 480 ribu ton dan Ethiopia sekitar 390 ribu ton tahun lalu.
Brasil sudah menekuni bisnis kopi sejak 150 tahun lalu. Kopi Brasil dikenal berkualitas tinggi, murni, dan diklaim terbaik dari alam. Begitu juga dengan Vietnam yang baru dikenalkan kopi dari orang-orang Prancis selama kolonialisasi pada 1857.
Namun apakah petani kopi di Indonesia saat ini sejahtera?
Factory Manager Nestle Lampung Budi Utomo mengatakan, produktivitas kopi dari petani tradisional di Indonesia hanya 700 ribu kilogram per hektare. Namun di ladang Edu Farm milik Nestle di Lampung bisa mencapai 1,2 juta ton.
Edu farm merupakan kebun percontohan kopi yang menjadi bagian program Creating Share Value (CSV) Nestle dan dikenal dengan program Nescafe Plan.
Nestle menyediakan lahan seluas empat hektare yang ditanami kopi berbagai jenis dan menjadi sekolah lapangan bagi petani setempat.
“Bagi yang rutin merawat tanaman kopinya bisa menghasilkan dua juta ton per hektare,” kata Budi di Pabrik Nescafe Lampung, Rabu (3/6).
Namun produktivitas petani kopi domestik masih kalah dengan petani di Vietnam. Di sana, mereka bisa menghasilkan sekitar 4-5 juta ton dengan luas lahan yang sama.
Adakah yang salah dengan petani kita?
Salah satu petani kopi asal Tanggamus, Ferry Aplhinson mengaku sudah turun-temurun menjadi petani kopi. Baginya, lahan kopi merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga.
“Tapi saya juga sedih menjadi petani kopi. Alasannya, kami berduka selama delapan bulan karena paceklik,” katanya.
Solusinya, ia menanam cengkih, mangga, pisang, dan tanaman lainnya secara tumpang sari untuk mengantisipasi paceklik tersebut.
Menjadi petani kopi juga belum menjanjikan kesejahteraan. Apalagi bila tanaman kopi tidak dirawat dengan baik.
Namun sejak mengetahui Nestle memiliki program Nescafe Plan, ia semangat mencari pengetahuan menanam kopi dengan baik. “Sebelum kami tahu Nestle, kami menjual kopi ke pengepul di Talangpadang. Harganya bisa berubah tiga kali sehari. Ini yang merugikan kami,” katanya.
Di lahan kebunnya yang terasiring, perlakuan lahannya pun berbeda dengan lahan datar. Agronomis Nestle Yudi mengatakan, penguatan lahan terasiring diperlukan agar tidak erosi.
“Caranya membuat lahan berundak. Perlakuan cabang tanaman kopi juga berbeda. Setelah 3-4 kali panen, cabang yang tidak produktif dipangkas,” kata Yudi.
Di Edu Farm milik Nestle, agronomis menargetkan satu pohon kopi bisa menghasilkan 1 kg kopi. Di lahan tersebut sudah ada 1.100 tanaman kopi berbagai jenis Robusta.
“Namun itu masih kalah dengan petani kopi di Vietnam yang mampu menghasilkan produktivitas sekitar 6 kg per pohon atau bisa 6 ton per hektare dengan skema perawatan tanaman signifikan,” katanya.
Nestle Lampung memiliki lebih dari 15 ribu petani binaan sejak 1996. Saat ini Nestle dengan program Nescafe Plan sedang menggencarkan produktivitas kopi di lahan terbatas.
Ada lima jenis kopi yang dikembangkan di Edu Farm Nestle di Tanggamus yaitu BP 42, SA 237, BP 409, BP 936, dan BP 939. Jarak tanaman pun diatur sekitar 2×3 meter.
Setiap baris (row) memiliki jenis kopi berbeda. Petani lokal juga dilibatkan untuk mengedukasi bagaimana menanam kopi secara benar, pengelolaan hingga pemanenan.
Pengujian biji dan bibit kopi didatangkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (ICCRI) Jember, Jawa Timur. Pengelolaan Edu Farm terdiri atas beberapa pemegang kebijakan seperti Pemerintah Kabupaten Tanggamus, Syngenta (untuk penanggulangan hama dan penyakit) dan ICCRI (bibit kopi).
Yudi mengaku menanam kopi memiliki tiga siklus panen. Biasanya Mei panen awal, Juli panen puncak dan September menjadi panen sisa. Sisanya menunggu tanaman kopi berbunga. Namun siklus panen tersebut hanya diperoleh dari petani hasil binaan Nestle berkat program Nescafe Plan.
“Kalau petani tradisional lain, bisa 2-3 tahun baru panen. Itupun hasilnya tidak maksimal,” kata Yudi.
Lantas berapa penghasilan petani kopi? Ferry menilai hasil kebun kopi setelah bergabung dengan program Nescafe Plan telah meningkat. “Penghasilan saya sekitar Rp 16-18 juta per tahun. Itupun belum termasuk hasil panen tanaman tumpang sari seperti mangga, cengkih, pisang. Meski tambahan tidak signifikan, kami bersyukur lahan kebun kami tetap menghasilkan selama paceklik,” kata Ferry.
Beruntung lagi, harga panen kopi hasil binaan Nestle mendapat harga berbeda dibanding pasar tradisional. Harganya sudah disesuaikan dengan pasar global dan petani bisa mengecek sendiri. “Pengepul tidak bisa menipu petani. Harga kopi global sudah ada patokannya. Kami pun juga tidak bisa menipu petani karena acuan tersebut,” kata Yudi.
Dari Nestle, kopi dari petani binaannya akan dihargai Rp 250 per kg lebih mahal, tergantung kurs dolar AS. “Ini di luar harga patokan global. Sekarang kami mendapat tambahan Rp 400 per kg lebih tinggi dari harga acuan,” kata Ferry.
Dari sini, saya mencoba membandingkan ayah saya yang seorang petani padi. Biasanya sekali panen, ayah saya hanya menerima Rp 1,5 juta untuk lahan kurang dari setengah hektare. Itupun sudah harga tertinggi yang diberikan pengepul. Kadang saat panen tidak bagus, ayah saya hanya mendapat Rp 1 juta.
Begitu miris petani kita. Kalau tahu Nestle membuat Nescafe Plan bagi petani, saya ingin mengikutsertakan ayah saya dalam program itu. Sayang di Jawa Timur tidak cocok untuk tanaman kopi karena harus ditanam di atas ketinggian 800 meter di atas permukaan laut.
Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Robusta Prima Tanggamus, Konstianto membenarkan petani kopi lebih sejahtera dibandingkan petani padi. Apalagi petani kopi tersebut mendapat binaan, khususnya Nestle dengan program Nescafe Plan.
Awalnya, Konstianto merupakan pegawai di Kementerian Pertanian. Setelah pensiun, ia pernah menjadi petani dan kini menjadi ketua kelompok tani setempat.
Ia mengelola 2.100 petani dari 81 kelompok tani di empat kecamatan. “Sehari kami bisa menangani 400 kuintal kopi untuk diolah menjadi kopi yang siap dijual ke Nestle atau distributor lain. Omzetnya sekitar enam bulan bisa mencapai 1.600 ton. Kalau harga kopi sekitar Rp 20 ribu per kg, Anda bisa kalikan sendiri omzetnya,” katanya.
Selain itu, ia juga menerima bibit kopi dan polibag untuk menanam bibit kopi tersebut dari Nestle. Nantinya, setiap petani kopi yang ada dalam pengawasannya akan mendapat masing-masing 400 tanaman kopi untuk ditanam di masing-masing kebunnya.
Human Resource Nestle Lampung Lucy Lyl mengatakan, pembinaan petani kopi tradisional sebagai bagian Creating Share Value (CSV) perusahaan. “Jadi kami tidak hanya mengambil kopinya saja tapi kami berikan apa yang dibutuhkan petani, mulai dari pemilihan bibit, penanaman, pengawasan, pengolahan biji, hingga pemasaran,” katanya.
Biji kopi yang telah dipanen juga disertifikasi sehingga memenuhi standar. Petani pun tidak harus menjual biji kopinya ke Nestle apabila menemukan distributor yang menawarkan harga lebih tinggi.
“Intinya, kami memberi komitmen lebih ke petani. Bila pemerintah hanya memberi dukungan atau penyuluhan, kami memberikan lebih ke petani. Itu demi secangkir minuman kopi nikmat yang kini Anda nikmati,” katanya.
Nah, sudah tahu donk keuntungan menjadi petani kopi. Itupun baru satu hektare, bagaimana kalau punya lahan lebih dari satu hektare? Hitung saja sendiri. So, mau jadi petani kopi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H