Nestle menyediakan lahan seluas empat hektare yang ditanami kopi berbagai jenis dan menjadi sekolah lapangan bagi petani setempat.
“Bagi yang rutin merawat tanaman kopinya bisa menghasilkan dua juta ton per hektare,” kata Budi di Pabrik Nescafe Lampung, Rabu (3/6).
Namun produktivitas petani kopi domestik masih kalah dengan petani di Vietnam. Di sana, mereka bisa menghasilkan sekitar 4-5 juta ton dengan luas lahan yang sama.
Adakah yang salah dengan petani kita?
Salah satu petani kopi asal Tanggamus, Ferry Aplhinson mengaku sudah turun-temurun menjadi petani kopi. Baginya, lahan kopi merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga.
“Tapi saya juga sedih menjadi petani kopi. Alasannya, kami berduka selama delapan bulan karena paceklik,” katanya.
Solusinya, ia menanam cengkih, mangga, pisang, dan tanaman lainnya secara tumpang sari untuk mengantisipasi paceklik tersebut.
Menjadi petani kopi juga belum menjanjikan kesejahteraan. Apalagi bila tanaman kopi tidak dirawat dengan baik.
Namun sejak mengetahui Nestle memiliki program Nescafe Plan, ia semangat mencari pengetahuan menanam kopi dengan baik. “Sebelum kami tahu Nestle, kami menjual kopi ke pengepul di Talangpadang. Harganya bisa berubah tiga kali sehari. Ini yang merugikan kami,” katanya.
Di lahan kebunnya yang terasiring, perlakuan lahannya pun berbeda dengan lahan datar. Agronomis Nestle Yudi mengatakan, penguatan lahan terasiring diperlukan agar tidak erosi.
“Caranya membuat lahan berundak. Perlakuan cabang tanaman kopi juga berbeda. Setelah 3-4 kali panen, cabang yang tidak produktif dipangkas,” kata Yudi.