Membangun dialog dengan siswa saat masuk sekolah seusai liburan dapat mengungkap banyak hal. Dan, (sangat) menarik. Sebab, melaluinya, guru dapat menemukan beragam keistimewaan siswa, yang bukan mustahil belum diketahui oleh guru.
Tindakan seperti ini sangat mungkin sudah dilakukan oleh sebagian guru. Biasanya, saat kali pertama masuk sekolah setelah liburan, sebagian guru tak langsung membersamai siswa dalam proses pembelajaran terkait dengan mata pelajaran (mapel).
Sekalipun, mungkin juga ada sebagian guru yang ketika kali pertama masuk sekolah sesudah liburan, langsung membersamai siswa dalam proses pembelajaran terkait dengan mapel yang diampunya.
Baik guru yang tak langsung maupun yang langsung membersamai siswa dalam proses pembelajaran termaksud, tentu saja memiliki alasan. Saya, salah satu guru, yang tak langsung membersamai siswa dalam proses pembelajaran mapel merasakan lebih menemukan manfaatnya ketimbang langsung membersamai siswa dalam proses pembelajaran mapel.
Sebab, sekadar berdialog dengan siswa tentang aktivitas mereka selama liburan ternyata merangsang pikiran dan perasaan kita, baik siswa maupun guru, menjadi lebih segar, bersemangat, dan terbuka.
Cara yang saya, mungkin juga banyak guru, tempuh adalah mengajak dialog siswa dalam waktu secukupnya tentang aktivitasnya saat liburan secara bergantian. Tetapi, tak semua siswa menjadi subyek dialog. Hanya, beberapa siswa.
Karena, tak hanya membangun dialog. Saya juga mengembangkan dialog termaksud agar siswa yang lain juga turut terlibat secara mendalam. Maksudnya, siswa yang lain dapat merenungkan juga aktivitas temannya ini sehingga muncul rasa empati, selain --tentu saja-- pengetahuannya bertambah.
Salah satu siswa saya, misalnya, secara acak mendapat bagian untuk berdialog tentang aktivitasnya selama liburan. Dari dialog ini, kami, saya dan teman-temannya satu kelas, mengetahui bahwa ia membantu ibunya yang berjualan lentog.
Dan ternyata, kami pun akhirnya mengetahui bahwa ia ternyata tak hanya membantu berjualan. Ia juga ikut membuat lentog.
Lentog merupakan makanan khas daerah kami. Wujudnya, irisan lontong dan sayur gori, yang dilengkapi dengan sayur tempe dan tahu. Kuahnya bersantan. Ini menu pokoknya. Jika Anda menginginkan menu tambahan, juga ada. Ada kerupuk, telur asin, dan gorengan, umumnya bakwan sayur.
Siswa saya yang ini memiliki hobi basket. Sehingga, dalam hal ini, ia harus membagi waktu. Disebutkannya, toh demikian aktivitas yang satu tak mengganggu aktivitasnya yang lain. Keduanya berlangsung lancar dan baik-baik saja.
Sekalipun saat berdialog saya mendatangi tempat duduk siswa yang menjadi subyek dialog, dialog dapat didengar oleh siswa yang lain. Lebih-lebih ketika saya mengulasnya secara sederhana di hadapan mereka.
Mereka tampak semakin terlibat di dalamnya. Dan, hal inilah yang membangun rasa empati siswa. Ini baru dari satu siswa yang saya ajak berdialog.
Dari siswa lainnya yang saya ajak berdialog, yang rerata memiliki aktivitas yang berbeda, tentu didapatnya banyak pengertian dan pengetahuan. Yang, sekali lagi, ini semua, seperti sudah disebut di atas, dapat membangun rasa empati siswa.
Di salah satu kelas tempat saya mengajar dan mendidik pada hari kedua masuk sekolah, misalnya, kami menemukan beberapa aktivitas yang dilakukan oleh siswa.
Di antaranya adalah ada siswa yang menonton film, membantu saudaranya berjualan teh, membantu ibu memasak dan berjualan lentog, kemah remaja bidang keagamaan, dan bermain sepak bola bersama teman.
Dalam semua momen dialog ini selalu diarahkan untuk mengetahui lebih dalam aktivitas siswa subyek dialog. Sehingga, aktivitas beberapa siswa selama liburan akhirnya dapat diketahui, baik oleh siswa yang lain maupun guru. Dan, realitas ini tak tabu.
Malah bermanfaat. Tak hanya bermanfaat bagi diri siswa yang bersangkutan. Tetapi, bermanfaat juga bagi siswa lain dan guru.
Manfaat bagi siswa yang bersangkutan, di antaranya, adalah melatih siswa berani berbicara (tentu ini bagi siswa yang cenderung diam). Dan, lebih daripada itu adalah melatih siswa terbuka atas aktivitas yang dilakukannya saat mengisi liburan. Sekalipun barangkali aktivitas termaksud oleh sebagian orang menganggapnya sebagai hal yang sederhana.
Tetapi, sejatinya tak sederhana seperti yang dianggap. Sebab, setiap aktivitas yang dilakukan oleh siswa selalu ada motif dan visinya. Jadi, yang perlu diungkap oleh guru justru harus bagian ini. Tak melulu mengungkap perihal jenis aktivitasnya.
Sebab, tatkala guru mengungkap dan mengeksplorasi bagian ini (motif dan visi) bersama siswa yang bersangkutan dan sekaligus membagikannya di hadapan siswa yang lain akan menjadi energi positif bagi siswa, baik bagi siswa termaksud maupun siswa yang lain.
Misalnya, ini siswa saya yang memiliki kesukaan menonton film selama liburan sekolah. Barangkali kesukaan ini oleh sebagian orang dianggap (sangat) sederhana. Bahkan, kurang bermanfaat.
Tetapi, tatkala hal ini diungkap dan dieksplorasi bersama dalam pembersamaan guru di ruang belajar, bukan mustahil menjadi pengalaman yang menarik dan menyegarkan bagi siswa.
Bahkan, bukan mustahil pula melalui momen ini, siswa, terutama siswa yang dimaksud, dengan bimbingan guru akhirnya tak hanya menyukai menonton film, tetapi memberi ulasan film. Baik secara lisan maupun tulisan. Bukankah ini yang kemudian boleh kita sebut menguatkan life skill siswa, yang notabene anak?
Ini untuk siswa yang memiliki hobi menonton film. Bagaimana dengan siswa yang, misalnya, menyukai permainan bola, memasak, membantu orangtua, dan berjualan?
Tentu hal yang seperti ini lebih kentara lagi saat didialogkan, dieksplorasi, dan diulas bersama dalam bimbingan guru di ruang belajar. Yaitu, hal ini sebagai bentuk penguatan life skill siswa. Dan, sudah pasti juga menjadi sarana untuk memotivasi siswa.
Dalam maksud yang sederhana, life skill adalah keterampilan hidup. Atau, sebuah keterampilan yang dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup. Maka, penting kiranya, aktivitas-aktivitas anak di masa liburan sekolah perlu dimengerti oleh orang dewasa. Termasuk guru.
Sebab, aktivitas-aktivitas seperti ini umumnya bersifat khusus bagi siswa. Sebagai aktivitas yang ditekuninya. Karena, mereka telah menemukan pengalaman yang berharga di dalam aktivitas termaksud.
Dan, ini yang kemudian menjadi life skill mereka, yang sering-sering justru dijumpainya dalam aktivitas sehari-hari di luar sekolah. Termasuk, misalnya, aktivitas yang ditekuninya pada masa liburan sekolah.
Karenanya, mendialogkannya di ruang belajar secara bersama-sama, yaitu antara guru dan siswa --yang di dalamnya guru sangat berperan-- saat masuk sekolah seusai liburan sungguhlah penting.
Sebab, sekali lagi, ikhtiar ini menandakan bahwa guru telah memberi penguatan (langsung) mengenai life skill siswanya. Yang, sudah pasti sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup siswa. Lebih-lebih ketika mereka memasuki realitas kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H