Sebab, teknologi informasi yang boleh dibilang menyajikan secara vulgar berbagai informasi yang tak terbatas, yang anak pun dapat mengakses, ternyata tak selalu berdampak baik terhadap anak.
Termasuk berdampak kurang menguntungkan terhadap keberlangsungan pendidikannya. Yang, di antaranya, misalnya, ditandai dengan semangat belajar rendah, konsentrasi kurang, daya juang yang lemah, dan mudah putus asa.
Karenanya, saat aura kegembiraan masih melekat dalam diri siswa seusai liburan, guru memiliki kewajiban untuk menjaganya. Agar, kegembiraan ini tetap terus dialami oleh siswa. Sebab, rasa kegembiraan merupakan modal yang (sangat) penting untuk mendukung proses pembelajaran siswa.
Itu sebabnya, yang perlu dipahami oleh guru adalah sekalipun hanya menjaga rasa kegembiraan siswa yang tampaknya sederhana, tetapi hal ini termasuk tugas dan fungsi (tupoksi) guru yang tak dapat diabaikan.
Sebab, kegagalan menjaga rasa kegembiraan siswa selama proses pembelajaran menjadi sebuah indikasi kegagalan proses pembelajaran seutuhnya. Sebab, sudah pasti siswa tak mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dalam proses pembelajaran termaksud.
Riilnya memang tak mudah mewujudkannya. Sekalipun barangkali ada (juga) guru tertentu yang dapat mewujudkannya secara mujarab. Karena, kompetensi kepribadian dan sosialnya sungguh diimplementasikan secara utuh dalam tupoksinya sebagai guru.
Tetapi, bukan berarti bawa guru, termasuk saya, yang belum dapat mewujudkan perihal ini secara maksimal, diam saja. Menerima saja yang terjadi. Bahkan, bersikap pasif. Tentu tak seperti ini.
Selalu mau belajar untuk dapat memperkuat kompetensi kepribadian dan sosial agar dapat membersamai siswa dalam proses pembelajaran selalu berada dalam rasa kegembiraan sebagai sebuah alternatif yang harus dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H