Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dear Guru, Waspada Mungkin Ada Siswa ADHD di Ruang Belajar!

23 Oktober 2024   12:57 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:06 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat saya membaca artikel di Kompas.id tentang attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) atau yang disebut gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, saya menemukan fakta yang mengagetkan. Sebab, ADHD ternyata juga dialami oleh masyarakat Amerika Serikat (AS) yang tergolong masyarakat dalam kategori negara maju.

Bahkan, ditengarai jumlah orang yang mengalami gangguan ini meningkat. Selain itu, persebarannya juga meluas. Tak dialami oleh anak-anak saja, tapi dialami juga oleh orang dewasa.

Bahwa pengetahuan tentang ADHD yang hanya dialami oleh anak-anak, ternyata salah satu siswa saya mengetahuinya. Sebab, saat saya menceritakan hasil saya membaca di depan kelasnya mengenai ADHD yang bisa dialami oleh orang dewasa, ia terkejut.

"Lho, Pak, itu bukannya dialami oleh anak-anak?" ungkapnya. Saya tak langsung menanggapi ungkapan termaksud. Tapi, merenungkan ungkapan ini sesaat. Baru kemudian saya menanggapi bahwa memang benar ADHD itu dialami oleh anak-anak.

Saya berpikir bahwa siswa saya yang ini sedikit banyak sudah mengetahui ADHD. Sekalipun saat kali pertama saya menyampaikan kepanjangan ADHD, ia masih berpikir-pikir. Tapi, akhirnya ia berucap, "gangguan mental, ya Pak."

Sekalipun ucapan ini belum seutuhnya benar, saya berkesimpulan bahwa setidak-tidaknya orangtua, atau mungkin saudara atau kerabatnya, pernah menceritakan tentang ADHD. Dan, tentu saat berlangsung penceritaan termaksud, ia berada di dalamnya.

Maka, siswa yang masih Kelas VII ini --di sekolah tempat saya mengajar-- yang sudah mengetahui hal ini, sekalipun belum utuh, saya kira sudah sangat bagus. Sebab, sekurang-kurangnya lingkungan tempat ia berada telah menciptakan ruang belajar yang bermakna bagi dirinya.

Selama saya menceritakan hasil membaca tentang ADHD ini, sebetulnya saya ingin mendapatkan lagi siswa yang seperti dirinya. Mengetahui perihal ini. Tapi, tak menemukan. Hanya dia sepertinya yang agak "ngeklik" dengan penceritaan perihal ADHD ini.

Dan, kenyataan ini ternyata agak berbanding lurus dengan teman-teman guru. Sebab, sebagian besar teman guru juga belum mengetahui hal ini.

ADHD dengan demikian sebagai perihal yang belum populer, setidak-tidaknya di sekolah tempat saya mengajar. Seperti halnya saya pun baru mengetahuinya setelah membaca artikel termaksud.

Karenanya, saya tertarik menulis artikel tentang hal ini, yaitu ADHD terkait dengan siswa. Apalagi isi artikel yang saya baca menggelitik. Begini maksud saya. Di negara semaju AS saja ada peningkatan dan persebaran ADHD, apalagi di Indonesia yang adalah negara berkembang.

Seperti yang diketahui oleh salah satu siswa saya bahwa ADHD hanya mengena ke anak-anak, di AS demikian juga awalnya. Tapi, berdasarkan penelitian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS pada perkembangannya terdata ada 15,5 juta orang dewasa di AS telah didiagnosis mengalami ADHD.

Bahkan, disebutkan ada 6 persen orang dewasa saat ini (2024) didiagnosis ADHD dan lebih dari separuhnya (sekitar 56 persen) menerima diagnosis pada masa dewasa.

Sementara itu, dilakukan oleh lembaga yang sama terhadap anak-anak pada 2022 terdata ada 7 juta (11,4 persen) anak-anak AS usia 3-17 tahun didiagnosis menderita ADHD. Data ini meningkat 1 juta jika dibandingkan dengan pada 2016.

Kompas.id juga menuliskan bahwa di Indonesia, catatan untuk orang yang mengalami ADHD belum terdeteksi sebab diagnosis masih terbatas dilakukan. Tapi, disebutkan bahwa masalah kesehatan mental kategorial remaja mengalami peningkatan secara signifikan.

Jika kita bersepakat bahwa masalah kesehatan mental seperti yang kemudian oleh salah satu siswa saya disamakan dengan ADHD, maka realitas yang sedang menimpa kalangan remaja di Indonesia sangat memprihatinkan.

Sebab, dalam catatan Kompas.id juga, data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, di antaranya, menyebutkan bahwa diperkirakan ada 19 juta penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan ada 12 juta penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Bahkan, dalam catatan Samsurdjal Djauzi yang dimuat di Kompas.id (25/11/2023) disebutkan bahwa di Indonesia ada sekitar 20 persen remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa, baik ringan maupun berat.

Oleh karena itu, bukan mustahil jika di Indonesia dilakukan diagnosis mengenai ADHD terhadap masyarakat, baik kategorial anak-anak maupun dewasa, pasti ditemukan data yang sejatinya.

Kalau di AS yang negara maju saja pada 2022 ditemukan 11, 4 persen anak-anak AS usia 3-17 tahun terdiagnosis ADHD, maka di Indonesia yang tergolong negara berkembang jika dilakukan diagnosis serupa, jumlah anak-anak yang mengalami ADHD dapat saja sama dengan yang dicatat oleh Samsurdjal Djauzi seperti sudah disebut di atas, yaitu 20 persen.

Itu sebabnya, kalau di sekolah tempat saya mengajar ada 800-an siswa, maka boleh jadi ada 160-an anak yang mengalami ADHD. Dan, selama ini, saya, mungkin juga teman-teman guru, belum memiliki kesadaran mengenai hal ini.

Padahal, berdasarkan beberapa referensi yang saya baca, ternyata tanda-tanda orang yang mengalami ADHD dapat saya jumpai di ruang belajar saat saya membersamai anak-anak belajar.

Tanda-tanda termaksud, misalnya, ada anak yang selalu usil, tak dapat fokus terhadap aktivitasnya, mengesampingkan tugas hanya karena bicara ini-itu, melakukan sesuatu yang bersifat tetiba yang mengganggu kondisi kelas, apatis, dan tampak memperhatikan tapi tak mengerti yang diperhatikan saat ditanya.

Di semua kelas tempat saya mengajar, yang berada di empat kelas, dua Kelas VII dan dua Kelas IX, selalu ada siswa yang memiliki tanda-tanda seperti ini. Jumlahnya lebih dari satu. Dan, mereka ini yang umumnya membuat kondisi kelas kurang nyaman.

Kesaksian dari beberapa teman guru, keadaan yang seperti ini jika dibandingkan dengan keadaan beberapa tahun yang lalu sangat berbeda. Saat ini boleh dibilang parah. Karena, banyak anak yang mengalami perilaku khusus ini.

Jadi, sekalipun saya belum pernah mendengar atau mengetahui ada tindakan diagnosis ADHD terhadap anak-anak (baca: siswa) di sekolah tempat saya mengabdi, saya kemudian berpikir bahwa siswa yang mengalami ADHD mungkin ada.

Itu sebabnya, guru perlu waspada. Artinya, guru memberi perhatian secara khusus sebab mereka merupakan siswa yang memerlukan perhatian secara khusus. Tak dapat disamakan dengan siswa yang lain yang berbeda dengan mereka.

Memang akhirnya guru menjadi lelah menghadapi siswa yang seperti ini. Energi, terutama psikis, lebih banyak tercurahkan untuk mereka. Jika di sebuah ruang belajar zero siswa yang seperti ini, energi guru lebih dapat terjaga dari awal hingga akhir pembelajaran.

Tapi, realitas ini tak dapat dihindari. Sebab, mereka merupakan pribadi yang membutuhkan pendampingan juga. Membutuhkan kehadiran guru, bahkan, seperti di atas sudah disebut, yaitu pembersamaan secara khusus.

Hanya, memang, sebatas ini yang dapat dilakukan oleh guru. Tak dapat melakukan lebih jauh daripada perlakuan ini. Sehingga, sangat mungkin, hingga selesai pendidikannya, si anak tetap mengalami ADHD.

Apalagi jika ia tumbuh dalam keluarga yang di dalamnya ada orangtua atau dewasa yang juga mengalami ADHD. Keadaan ini tentu akan memperparah kondisi mental emosional anak. Sebab, ADHD dapat tersebab oleh faktor genetik. Selain itu, juga oleh karena faktor lingkungan.

Tentu saja yang dimaksud lingkungan dalam konteks ini tak sebatas lingkungan keluarga. Tapi, dapat saja lingkungan pergaulan anak. Artinya, sekalipun dalam lingkungan keluarga baik-baik saja, kondisi mental emosional anak dapat saja dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya.

Karenanya, perlu dibutuhkan banyak pihak dalam membantu anak yang mengalami ADHD untuk keluar dari kondisi buruk yang membelenggunya ini. Upaya yang maksimal dapat membantunya memasuki dunia kehidupan yang dapat membahagiakan dirinya dan sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun