Karenanya, saya tertarik menulis artikel tentang hal ini, yaitu ADHD terkait dengan siswa. Apalagi isi artikel yang saya baca menggelitik. Begini maksud saya. Di negara semaju AS saja ada peningkatan dan persebaran ADHD, apalagi di Indonesia yang adalah negara berkembang.
Seperti yang diketahui oleh salah satu siswa saya bahwa ADHD hanya mengena ke anak-anak, di AS demikian juga awalnya. Tapi, berdasarkan penelitian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS pada perkembangannya terdata ada 15,5 juta orang dewasa di AS telah didiagnosis mengalami ADHD.
Bahkan, disebutkan ada 6 persen orang dewasa saat ini (2024) didiagnosis ADHD dan lebih dari separuhnya (sekitar 56 persen) menerima diagnosis pada masa dewasa.
Sementara itu, dilakukan oleh lembaga yang sama terhadap anak-anak pada 2022 terdata ada 7 juta (11,4 persen) anak-anak AS usia 3-17 tahun didiagnosis menderita ADHD. Data ini meningkat 1 juta jika dibandingkan dengan pada 2016.
Kompas.id juga menuliskan bahwa di Indonesia, catatan untuk orang yang mengalami ADHD belum terdeteksi sebab diagnosis masih terbatas dilakukan. Tapi, disebutkan bahwa masalah kesehatan mental kategorial remaja mengalami peningkatan secara signifikan.
Jika kita bersepakat bahwa masalah kesehatan mental seperti yang kemudian oleh salah satu siswa saya disamakan dengan ADHD, maka realitas yang sedang menimpa kalangan remaja di Indonesia sangat memprihatinkan.
Sebab, dalam catatan Kompas.id juga, data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, di antaranya, menyebutkan bahwa diperkirakan ada 19 juta penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan ada 12 juta penduduk usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Bahkan, dalam catatan Samsurdjal Djauzi yang dimuat di Kompas.id (25/11/2023) disebutkan bahwa di Indonesia ada sekitar 20 persen remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa, baik ringan maupun berat.
Oleh karena itu, bukan mustahil jika di Indonesia dilakukan diagnosis mengenai ADHD terhadap masyarakat, baik kategorial anak-anak maupun dewasa, pasti ditemukan data yang sejatinya.
Kalau di AS yang negara maju saja pada 2022 ditemukan 11, 4 persen anak-anak AS usia 3-17 tahun terdiagnosis ADHD, maka di Indonesia yang tergolong negara berkembang jika dilakukan diagnosis serupa, jumlah anak-anak yang mengalami ADHD dapat saja sama dengan yang dicatat oleh Samsurdjal Djauzi seperti sudah disebut di atas, yaitu 20 persen.
Itu sebabnya, kalau di sekolah tempat saya mengajar ada 800-an siswa, maka boleh jadi ada 160-an anak yang mengalami ADHD. Dan, selama ini, saya, mungkin juga teman-teman guru, belum memiliki kesadaran mengenai hal ini.