Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahasa di Ruang Publik yang Tak Dihargai

8 September 2024   00:44 Diperbarui: 8 September 2024   07:10 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diksi "dihargai" umumnya lebih melekat terhadap relasi sosial. Hubungan satu orang dengan orang lain. Agar relasi tetap nyaman  antarmereka, sikap harga-menghargai dijadikan sebagai gaya hidup dalam relasi sosial.

Sebab, secara umum, orang ingin dihargai. Ketika seseorang merasa dirinya dihargai, ia pun menghargai orang termaksud. Sehingga, relasi sosial antar keduanya sudah pasti nyaman dan membahagiakan.

Tapi, dalam konteks yang lain, ada juga ternyata, sekalipun tak sosok orang, namun membutuhkan penghargaan. Karena, jika dalam konteks ini sikap menghargai tak dilakukan (akan) berdampak buruk. Dampak buruk ini dapat menimpa banyak pihak, termasuk orang.

Sosok itu adalah bahasa. Bahasa, terutama bahasa yang bersifat memberitahukan, baik yang ditujukan kepada publik maupun individu, merupakan bagian dari eksistensi relasi sosial yang perlu dihargai. Agar, tercipta suasana yang nyaman, aman, dan tentu membahagiakan, baik bagi diri sendiri maupun sesama.

Adanya catatan ini dipantik oleh pajangan papan pemberitahuan --yang berwujud bahasa-- yang dibuat oleh pemerintah. Yaitu, tentang larangan berjualan di sekitar area papan termaksud. Tapi, di area ini masih banyak penjual.

Saya melihatnya sendiri. Bahkan, saya mendekatinya. Untuk memastikan. Dan, benar.

Karena tertarik untuk mengambil gambar, saya memotret area ini dengan gawai. Hasil memotret saya jadikan dokumentasi.

Tapi, beruntung. Sebab, pada saat lain ketika saya menggeser-geser untuk melihat-lihat beberapa hasil memotret dari beberapa objek di dalam gawai, tetiba saya tertarik untuk membuat catatan berdasarkan potret yang satu ini.

Dan,  potret ini membuka pikiran dan ingatan saya pada masa lalu, yang ternyata semakin menguatkan saya perlu membuat catatan ini.

Sebab, ada banyak fenomena yang sekalipun berbeda, tapi mengarah ke satu kasus yang sejenis. Yaitu, bahasa yang tak dihargai. Misalnya, sering saya, mungkin juga Anda, menemukannya di persimpangan traffic light.

Di salah satu arah, biasanya, yang berbelok ke arah kiri, pada sebuah tiang sudah diberi pelat bertulisan "ke arah kiri, mengikuti lampu", yang tak sedikit pengguna jalan mengabaikan. Sebab, sebelum lampu menyala hijau alias masih merah, mereka melaluinya langsung.

Pengendara melintas di jalur dengan mengabaikan petunjuk di salah satu persimpangan traffic light. (Dokumentasi pribadi)
Pengendara melintas di jalur dengan mengabaikan petunjuk di salah satu persimpangan traffic light. (Dokumentasi pribadi)

Memang umumnya agak sepi. Jadi, banyak pengendara yang memiliki hasrat untuk melewatinya. Mereka merasa terjamin keamanannya karena arah yang dilewati dipandang dapat dilaluinya dan relatif longgar.

Fenomena yang seperti ini banyak ditemukan di persimpangan traffic light. Di daerah Anda, saya, dan yang lain, sama-sama mudah ditemukan, bukan?

Saat kita sedang berhenti karena lampu masih menyala merah, misalnya, ada saja pengendara yang melaju ke arah kiri meski di dekatnya ada pesan yang mengandung maksud "boleh berjalan mengikuti lampu".

Juga, dalam konteks teks lain, sudah ada papan permanen dipajang yang berfungsi memberi tahu masyarakat tak boleh memberi uang kepada pengemis dan anak jalanan, bahkan jika memaksa memberi, yang bersangkutan dikenai denda, tetap saja beberapa di antaranya ada yang memberi.

Memang barangkali ada juga daerah yang kondisi ketertibannya sangat terjaga. Sehingga, seperti  di daerah, yang pernah saya melewatinya tak kami jumpai pengemis dan anak jalanan di ruang-ruang publik, termasuk di persimpangan-persimpangan traffic light.

Hal yang serupa terjadi juga dalam bidang persampahan. Masih banyak dijumpai sampah yang lambat laun menumpuk di pinggir jalan  meski di beberapa titik di sepanjang jalan termaksud sudah ada tulisan tentang larangan membuang sampah.

Setali tiga uang, di beberapa sekolah, yang sekalipun sudah ada pembedaan tong sampah dengan tulisan dan warna, baik yang organik maupun anorganik, warga sekolah agaknya masih abai terhadap persampahan. Sehingga, masih dapat ditemukan jenis sampah yang beragam dalam satu tong sampah. Campur antara organik dan anorganik.

Boleh jadi masih ada fenomena yang lain yang menjadi tanda bahwa ada sikap tak menghargai bahasa. Misalnya, di tempat-tempat yang perlu antre, area bebas (asap) rokok, dan penggunaan jalan yang diatur dengan waktu.

Sebab, di tempat yang dimaksud masih ada orang yang tak sabar antre. Masih ada orang yang merokok. Masih ada orang yang menerobos jalan tanpa menghiraukan waktu.

Fenomena seperti disebut di atas bukan disebabkan oleh orang tak dapat membaca pemberitahuan atau petunjuk. Juga bukan karena orang tak memahami maksud bahasa tersebut. Bukan! Tapi, rerata orang tak menghargai bahasa yang sudah dibacanya dan dipahaminya.

Bahasa yang sudah dibaca dan dipahaminya tak digunakan untuk mengontrol diri. Bahasa seolah tak berfungsi. Sekalipun sebetulnya (sangat) berfungsi. Sebab, bahasa ini dibuat oleh pihak-pihak yang ahli di bidangnya dengan melihat  segi  kemanfaatan.

Jadi, bahasa termaksud memiliki manfaat. Yaitu, untuk menciptakan rasa nyaman dan aman bagi semua. Maka, wajar jika masih ada sebagian besar orang yang menghargainya.

Terbukti mereka memenuhi kebutuhan atau keinginan dengan taat terhadap bahasa pemberitahuan atau petunjuk yang ditemukan dan dibaca  di ruang publik.

Silakan Anda cermati yang terjadi di sekitar Anda! Lebih banyak yang menaati daripada yang melanggar, bukan? Tapi, sekalipun yang melanggar atau tak menghargai bahasa informasi atau petunjuk hanya sebagian kecil, tetap menjadi  (maaf!) penyakit dalam masyarakat.

Dan, realitas ini sangat merugikan. Sebab, selain yang bersangkutan menunjukkan bahwa dirinya tak taat hukum atau norma, dapat juga merugikan pihak lain.

Bayangkan ini rambu lalu lintas di persimpangan traffic light. Bukan mustahil pengendara yang menerobos dapat menimbulkan kecelakaan. Tak hanya dirinya yang menjadi korban. Tapi, dapat juga menimpa pengendara lain yang sudah taat bahasa rambu jalan.

Bayangkan pula jika di lokasi yang sudah dipasang papan pemberitahuan tentang larangan berjualan di area termaksud, tetap ada orang yang berjualan. Bukankah hati ini sedih? Tentu sedih, bahkan prihatin.

Sebab, fenomena ini dan fenomena sejenisnya  dalam konteks yang berbeda dapat menjadi pemandangan yang buruk, yang tak ada sedikit pun mengedukasi masyarakat.

Sekalipun dinyatakan oleh UNESCO bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, atau, setiap 1000 orang Indonesia hanya ada satu orang yang memiliki minat baca, bukan berarti bahwa mereka tak dapat membaca teks sederhana, seperti bahasa pemberitahuan atau petunjuk yang dipajang di ruang publik.

Mereka bisa, seperti sudah saya sebutkan di atas. Bahkan, mereka dapat memahami maksud bahasa yang dibaca. Tapi, sebagian kecil mereka memang abai alias tak menghargai bahasa pemberitahuan atau petunjuk tersebut.

Bahasa yang tak dihargai ini tentu tak pernah merasa sedih, sakit hati, apalagi sampai mati. Tak terjadi. Tapi, bagi pihak yang membuat dan juga kami yang setia pada suasana yang nyaman, aman, dan membahagiakan di ruang publik, merasa sedih, sakit hati, dan nyaris kehilangan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun