Semua sekolah menciptakan lingkungan ramah anak. Untuk menandainya, sekolah umumnya mengadakan  pencanangan sekolah ramah anak.
Bahkan, untuk mendapatkan pengakuan dari publik, galibnya acara pencanangan ini diunggah di media sosial (medsos) sekolah. Melalui medsos sudah barang tentu dilihat oleh banyak orang
Setidak-tidaknya, dilihat oleh siswa dan orangtua/wali siswa. Dan, jika medsos sekolah sudah populer di kalangan warganet, niscaya dalam sekejap sudah ratusan, bahkan ribuan pemirsa.
Hal ini menambah pengakuan mengenai sekolah termaksud ramah anak. Tergambar siswa nyaman dan aman saat berada di sekolah dalam pembelajaran.
Tapi, sekalipun begitu, (ternyata) tak selalu dapat menggambarkan kenyataan. Artinya, masih ada siswa yang kurang kontrol diri. Jadi, ada saja siswa yang harus mendapatkan perhatian khusus.
Misalnya, mereka  satu di antaranya bermaksud senda gurau, tapi satunya menganggap betulan. Sehingga, memungkinkan hal ini mengarah ke percekcokan.
Mereka yang awalnya baik-baik saja, akhirnya dapat tak baik-baik saja. Relasi mereka terganggu. Dan, ini tak dapat dibiarkan. Perlu diselesaikan. Agar, tak berlanjut ke arah yang lebih buruk.
Maka, gurulah yang melakukan peran untuk membantu  menyelesaikan problem mereka. Caranya, ini yang umum dilakukan, guru mengundang kedua siswa. Mereka diajak bercakap-cakap.
Prosesnya, selalu dimulai dari tahap mereka diberi waktu untuk bercerita tentang persoalan yang mereka hadapi. Satu per satu. Mereka bercerita bergantian. Guru mencermati. Dan, meminta keterangan ulang jika guru belum memperoleh kejelasan.
Dalam proses ini sangat mungkin ada siswa yang mengatakan sesuai dengan kenyataan. Tapi, sangat mungkin ada juga yang mengatakan tak sesuai dengan kenyataan.