Perundungan merupakan satu dari tiga dosa pendidikan. Hingga, kini, perundungan masih menjadi tema pembicaraan di dunia pendidikan. Ini membuktikan bahwa perundungan masih terjadi.
Di sekolah Anda? Semoga tak ada. Atau, sekurang-kurangnya bullying di kalangan siswa ini sudah berkurang. Sudah sedikit kejadiannya.
Tak salah jika perundungan hanya dikaitkan dengan perundungan fisik. Di kalangan siswa sudah mulai berkurang. Setidaknya seperti ini yang dapat saya ketahui di sekolah tempat saya mengajar.
Kampanye yang didengungkan secara nasional oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) relatif berdampak. Sekalipun memang masih perlu waktu dan proses panjang untuk mengubah ke kondisi zero perundungan di sekolah.
Jika perundungan yang bersifat fisik sudah berkurang, tak demikian perundungan yang bersifat nonfisik. Perundungan secara verbal, khususnya, masih terjadi di sekolah. Dan, siswa sepertinya tak terlalu mempersoalkannya.
Sebab, perundungan secara verbal, misalnya, ejek-mengejek, dianggapnya bersenda gurau saja. Guyonan. Itu sebabnya, hingga kini, yang namanya senda gurau yang mengarah ke bentuk perundungan dianggap sebagai hal yang biasa.
Siswa korban perundungan tak selalu memiliki kekuatan yang sama dalam menghadapi perundungan. Ada siswa yang menghadapi perundungan, biasa saja. Siswa ini mudah kembali ceria.
Bahkan, ketika ditanya oleh guru, misalnya, ia berbicara secara jujur dan terus terang. Tindakan perundungan yang dialaminya tak menjadikan dirinya takut untuk memberitahukan kepada guru.
Siswa yang seperti ini menyadari bahwa cara yang dilakukan sangat menolong dirinya. Karenanya, guru yang diberi tahu seharusnya bersyukur sebab ia tak perlu mencari tahu. Dengan modal pemberitahuan ini, guru dapat menindaklanjuti secara cerdas.
Artinya, mengajak dialog siswa yang melakukan perundungan dengan hangat tanpa memunculkan sedikit pun tanda yang memungkinkan siswa yang melakukan perundungan mengetahui siswa yang melaporkan.
Dalam hal demikian --saya sering mengalaminya-- selalu saya mengatakan bahwa diri saya sangat terbatas. Tak dapat menjangkau yang jauh. Tapi, selalu ada orang yang menolong untuk kebaikan, kebaikan bersama. "Untukku dan untukmu".
Entah mengapa, siswa yang saya ajak bercakap-cakap lalu menjadi terbuka. Ia menceritakan hal yang dilakukannya. Dan, saya sangat menghargai ceritanya dengan mendengarnya secara saksama.
Pun entah mengapa pada waktu selanjutnya umumnya tak mendengar lagi ia melakukan perundungan, terutama terhadap siswa yang pernah dijadikan sasaran perundungan.
Dan, bukan mustahil kalau kemudian ia tak melakukan lagi perundungan terhadap siapa pun (siswa). Ia kembali ke perilaku yang menguntungkan bagi semua, termasuk bagi dirinya (sendiri).
Sementara itu, ada juga siswa korban perundungan yang tak berani bersuara. Kondisi demikian ini boleh jadi karena ada ancaman dari yang melakukan perundungan. Atau, memang siswa ini tak memiliki keberanian.
Baik siswa yang kena ancaman maupun tak memiliki keberanian adalah siswa yang kehilangan kebahagiaan dan kegembiraan dalam aktivitas pembelajaran. Pembunuhan karakter ini sangat berefek terhadap tumbuh kembang mereka.
Mengetahui perihal ini, guru tentu tak tinggal diam. Sebab, guru sangat mengerti dampak negatif yang terjadi kalau kondisi siswa yang seperti ini terabaikan.
Yang pernah saya kerjakan adalah melakukan pendekatan terhadap siswa yang mengalami kondisi kejiwaan yang kurang beruntung ini. Pekerjaan ini dapat dilakukan oleh semua guru, tanpa memandang latar belakang pendidikan profesinya.
Sebab, sudah pasti pengetahuan tentang pendekatan terhadap siswa yang sedang mengalami problem sudah dipelajari saat belajar ilmu kependidikan selama kuliah. Bahkan, pengetahuan ini terlengkapi dalam diri guru yang sudah mengabdikan diri mendidik dan mengajar siswa.
Melakukan pendekatan terhadap siswa yang demikian ini memang membutuhkan kesadaran diri bahwa guru mengambil posisi yang sama dengan siswa. Setidak-tidaknya dalam maksud sama-sama sebagai manusia, ciptaan Tuhan.
Dalam konteks demikian, saya selalu menyatakan kepada siswa bahwa saya dan dirinya sama. Ada saatnya sama-sama menghadapi masalah dan hal ini sangat wajar. Siapa pun, tanpa pandang bulu, dalam waktu tertentu, menghadapi masalah.
Selanjutnya, saya mengatakan bahwa sering kali kita tak mampu menghadapi sendiri masalah yang ada. Kita membutuhkan orang lain. Yang, sangat mungkin dapat membantu.
Ya, saya sendiri, saat menghadapi masalah yang tak mudah diselesaikan, orang lain saya mintai tolong untuk membantu. Bahkan, tak jarang orang lain itu adalah orang yang usianya lebih muda daripada saya. Saya tak malu karena usia lebih tua.
Jadi, ini yang selalu saya katakan kepada siswa yang menurut saya perlu dibantu dari problem yang melingkupinya, kita harus mau saling berbagi. Saya dapat berbagi kepadamu; kamu bisa berbagi kepada saya. Kita saling membantu.
Kita harus berjuang bersama untuk dapat menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Berjuang bersama memiliki kekuatan yang lebih hebat ketimbang berjuang sendiri.
Yakinilah ini! Kamu pasti dapat terlepas dari persoalan yang membelenggu kebebasanmu dalam berekspresi. Ayo bangkit bersama!
Yang saya dapatkan kemudian adalah ia mulai mau berbicara kepada saya. Sangat terbuka. Dan, ia tampak membutuhkan kawan untuk mengakhiri beban yang ditanggungnya. Katakan kepadanya, bahwa Anda siap membantu dan menjamin ia nyaman dan aman.
Akhirnya, bukan saya atau Anda yang membuat siswa berhasil dalam berjuang menemukan kembali kebahagiaan dan kegembiraannya dalam pembelajaran yang hilang.
Tapi, semangatnya yang membuatnya ia berhasil. Ini yang harus kita katakan kepadanya. Dan, layak untuk dirayakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H