Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Bermasalah, Ajak Orangtua Berefleksi

16 Juli 2024   19:57 Diperbarui: 17 Juli 2024   00:47 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi anak-anak masuk sekolah. Dan, sekolah akan menyambut mereka dengan sukacita. Tapi, tak berarti tak ada persoalan yang perlu diantisipasi oleh sekolah. Ada.

Sejak dulu hingga kini, siswa bermasalah selalu ada. Dan, siswa yang memiliki problem selalu terganggu  belajarnya. Juga mengganggu belajar teman-temannya.

Sebab, siswa yang berproblem bagian dari siswa yang lain. Dan, siswa yang lain tak mungkin menutup mata dan telinga terhadap temannya yang memiliki problem.

Mereka yang sudah melihat dan mendengar siswa, yakni temannya yang bermasalah itu, pasti menyimpan kesan di dalam benak dan pikiran mereka.

Siswa yang berpikir positif, tentu memandang persoalan temannya sebagai fenomena yang baik untuk pembelajaran (hidup). Karena,  dapat menumbuhkan sikap empatinya.

Tapi, siswa yang berpikir negatif, hal termaksud dapat menjadi faktor negatif baginya. Karena, bukan mustahil malah menjadi bahan perundungan. Yang, tentu merugikan, baik bagi dirinya (sendiri) maupun bagi siswa yang memiliki masalah.

Selain itu, juga mengganggu guru dalam memberi layanan belajar bagi siswanya. Betapa tidak, konsentrasi guru bukan mustahil tersedot ke siswa yang bersangkutan. Sehingga,  ada waktu yang tak didapatkan oleh banyak siswa (lain).

Itu sebabnya, penanganan siswa yang berproblem perlu segera dilakukan. Caranya, tak cukup siswa dipanggil oleh guru wali kelas dan guru bimbingan dan konseling (BK) dalam penyelesaiannya.

Dipanggil dalam rangka menggali pokok persoalan, yang kemudian dapat ditemukan akar persoalannya, itu langkah yang terbaik. Sebab, umumnya, siswa yang memiliki problem adalah siswa yang di rumahnya pun ada problem.

Artinya, siswa yang memiliki persoalan tak mungkin dapat ditangani hanya sebatas mengajak siswa berdiskusi. Siswa tak akan mampu diajak memecahkan problemnya sendiri, tanpa melibatkan keluarga.

Berapa banyak kegagalan guru yang membantu siswanya bermasalah selama ini? Siswa yang terus diajak berdiskusi karena problemnya belum terselesaikan justru membebani siswa bersangkutan.

Siswa butuh segera keluar dari problem yang membelitnya. Memanggil siswa termaksud berkali-kali karena guru memandang bahwa siswa terus membuat masalah merupakan kesalahan guru dalam bersikap.

Sebab, seharusnya cukup bagi guru menemukan akar persoalan siswa. Tanpa perlu berulang-ulang memanggil siswa. Ini yang baik, sebagai prestasi guru yang harus diapresiasi.

Sebab, tak sedikit guru yang belum menemukan akar persoalan siswa yang bermasalah, tetiba berusaha membantu siswa menyelesaikannya.

Tak mungkin siswa yang memiliki problem tertangani dengan baik jika akar persoalan belum ketemu. Akar siswa bermasalah, jika kita mau jujur, seperti sudah disebutkan tersirat di atas,  (maaf!) selalu bersumber dari keluarga.

Maka, sasaran guru dalam menangani siswa bermasalah bukan fokus terhadap siswa, dengan cara siswa terus dipanggil untuk bertemu guru.

Tapi, guru harus mengalihkan konsentrasi, dengan cara mengundang orangtua/wali siswa yang anaknya sedang mengalami persoalan. Sebab, rasanya tak mungkin siswa memiliki persoalan, tanpa ada persoalan di dalam keluarga.

Memang, tugas dan fungsi guru akhirnya lebih meluas. Tapi, hal ini penting dilakukan oleh guru. Sebab, betapa tak beruntungnya guru ketika bermaksud menangani siswa yang memiliki problem, tapi kurang tuntas. Bahkan, tak tuntas, malah siswa menjadi terkesan semakin bermasalah.

Agar waktu dapat termanfaatkan lebih baik, guru (baca: sekolah) tak mengundang orangtua/wali siswa  satu per satu. Tak perlu. Tapi, mengundangnya secara kolektif alias bersama-sama.

Tentu langkah ini diawali dulu dengan langkah sebelumnya. Yaitu,  sekolah perlu mengidentifikasi siswa yang bermasalah. Boleh dikelompokkan berdasarkan sederhana dan rumitnya problem, atau ringan dan beratnya persoalan.

Hanya, bukan berdasarkan pengelompokan ini yang kemudian guru membantu menyelesaikan persoalan. Bukan. Tapi, ini sekadar cara untuk melihat kondisi problem yang dialami oleh siswa.

Sebab, semua siswa yang sedang mengalami problem harus dipandang sama dan sederajat oleh sekolah. Sekolah memiliki tanggung jawab yang sama terhadap semua siswa yang bermasalah untuk membantunya keluar dari belitan persoalannya.

Sekolah mengundang orangtua/wali siswa adalah dalam rangka untuk membangun persepsi yang sama dalam membantu siswa agar dapat belajar optimal, tak dalam rangka membuka aib siswa, orangtua/wali siswa, atau keluarga.

Justru persepsi ini yang perlu dibangun dulu oleh sekolah bersama orangtua. Bahwa siswa yang bermasalah pasti ada akar masalahnya. Sehingga, tanggung jawab sekolah dan orangtua/wali siswa (keluarga) dapat disinergikan demi keoptimalan siswa belajar.

Pertemuan sekolah dengan orangtua/wali siswa, dengan demikian, bersifat saling berbagi pengalaman selama membersamai siswa atau anak menunaikan pendidikannya.

Tapi, sekolah tetap memiliki peran besar dalam membangun persepsi yang sama terhadap siswa atau anak yang sedang menghadapi  masalah.

Yang, kemudian perlu dilakukan oleh   sekolah adalah mengajak orangtua/wali siswa berefleksi mengenai perannya  dalam membersamai anak. Selama ini mereka sudah maksimal membersamai anaknya dalam mengenyam belajar atau belum.

Refleksi ini penting bagi orangtua/wali siswa. Sebab, bukan mustahil orangtua/wali siswa memang belum atau bahkan tak pernah  melakukannya karena ketidaktahuan mereka. Atau, bahkan, mereka tak mengetahui jika anaknya sedang bermasalah.

Sekolah memang wajib memfasilitasi, mengajak, dan membersamai mereka melakukannya. Sampai orangtua/wali siswa menemukan sendiri persoalan yang dihadapi anaknya, yang sangat mungkin tak lepas dari keberadaannya sebagai orangtua/wali siswa.

Lalu, bersama sekolah diajak mengambil komitmen membersamai proses pendidikan anak. Bersama menciptakan rasa nyaman, aman, bahagia bagi anak untuk belajar.

Dengan begitu, sekolah tak dikesankan menyalahkan orangtua/wali siswa yang memiliki  anak bermasalah. Sekalipun bisa dipastikan awal mula masalah (anak) dari ada masalah dalam keluarga.

Memang dapat saja masalah terjadi karena lingkungan pergaulan siswa yang keliru. Tapi, kalau dalam keluarga, anak menjumpai lingkungan yang membuatnya merasa nyaman, aman, dan membahagiakan, sangat kecil kemungkinannya anak memiliki problem, termasuk hanyut dalam pergaulan yang keliru.

Upaya menyempurnakan langkah penanganan dengan mengadakan kegiatan parenting bagi orangtua/wali siswa yang anaknya bermasalah tentu lebih baik.

Sebab, melalui kegiatan parenting akan membuka wawasannya dalam membersamai anak dalam memasuki masa pertumbuhan dan perkembangan.

Nah, terkait dengan adanya pengelompokan orangtua/wali siswa yang anaknya memiliki problem yang kemudian diundang, diajak refleksi, dan berkegiatan parenting tak berarti merendahkan mereka. Tapi, memudahkan sekolah untuk memberi bantuan penyelesaian problem belajar siswa.

Sebab, sekolah tak mungkin memiliki kemampuan menangani siswa bermasalah tanpa menggandeng orangtua/wali siswa (baca: keluarga), yang memang mereka memiliki waktu lebih banyak bersama anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun