Masyarakat (kita) berhak mendapatkan pendidikan, siapa pun mereka. Termasuk mereka yang kurang mampu (secara ekonomi). Di sekolah tempat saya mengajar, ada salah satu siswa kami, putri, Â yang sekolahnya difasilitasi oleh desa.
Siswa ini mendapat dukungan dana dari desa. Karena memang siswa ini dari keluarga yang kurang mampu. Bahkan, tak hanya kurang mampu, tapi kondisi keluarganya juga kurang baik.
Sebab, ia hidup bersama ibu dan adiknya tinggal di kost, tanpa ayah. Ibunya bekerja sebagai pemulung. Dari desa menginformasikan bahwa ibunya juga (maaf!) wanita asusila. Untung saja desa tempat mereka tinggal memberi perhatian.
Berdasarkan gambaran di atas, Anda tentu dapat membayangkan bagaimana keadaan siswa kami termaksud. Lingkungan keluarga destruktif. Kondisi mental anak tak manis.
Akibatnya, di sekolah anak ini tak percaya diri, lebih suka menyendiri, yang kemudian terjadi adalah anak ini jarang masuk sekolah. Saat desa menanyai tentangnya, ia bilang di sekolah dirundung oleh temannya.
Informasi ini kami ketahui dari wali kelas dan guru bimbingan dan konseling (BK) yang datang ke balai desa menanyakan tentang siswa ini karena ketika home visit ke kost-nya, mereka tak menjumpainya, juga ibunya dan adiknya.
Siswa yang kurang mampu di sekolah tempat saya mengabdi tak hanya dirinya. Ada yang lainnya. Sebab, sekolah, di mana pun, lebih-lebih sekolah negeri wajib menerima mereka sebagai siswa, tak pandang bulu, asal saat pendaftaran memenuhi persyaratan.
Hanya, memang, ada yang bertahan hingga tuntas pendidikannya. Yang ini tentu saja mendapat spirit dari banyak pihak. Keluarga atau saudara, dan sekolah saling mendukung dan memberi spirit.
Tapi, ada juga yang tak bertahan seperti satu siswa di sekolah tempat saya mengajar ini. Sekolah dan masyarakat (desa) mendukung, tapi keluarga kurang mendukung, akhirnya anak tak tuntas belajar.