Seperti apa pun capaian rapor anak, tak dapat dipungkiri bahwa guru dan orangtua terlibat di dalamnya. Tak dapat dipahami bahwa rapor adalah hasil capaian semata-mata anak. Tak demikian. Guru dan orangtua intervensi dalam capaian rapor termaksud.
Hanya memang, peran guru lebih bersifat formal dan dalam waktu yang (sangat) terbatas. Berbeda dengan peran orangtua, yang bersifat informal, khusus, dan sepanjang waktu yang ada.
Maka, sudah seharusnya penerimaan rapor anak dirayakan bersama. Orangtua memfasilitasi, yang selanjutnya bersama anak merayakannya.
Merayakan penerimaan rapor bersama anak menandakan bahwa orangtua menghargai perjuangan anak dalam proses belajar.
Yang, sekaligus juga menghargai diri sendiri, sebagai orangtua yang selalu ada bersama anak dalam berjuang di  medan pendidikan. Maka, yang dilihat oleh orangtua semestinya bukan perihal capaian rapor anak sudah atau belum memenuhi  harapan.
Tapi, lebih melihat ke proses perjuangan anak selama enam bulan, yang diakhiri dengan memanen rapor pada musim penerimaan rapor.
Artinya, entah capaian rapor termaksud sudah memenuhi harapan atau belum memenuhi harapan, tetap dirayakan bersama dengan rasa kegembiraan.
Jika ternyata ada orangtua yang begitu melihat capaian rapor anak belum sesuai harapan, lalu sedih. Atau, bahkan marah yang diarahkan kepada anak, maka dapat dipastikan orangtua ini belum dapat menyadari (dengan sesadar-sadarnya) bahwa keberadaan dirinya sendiri bagian dari anak yang berjuang dalam proses pembelajaran.
Dan, ini yang lebih memprihatinkan, orangtua yang demikian belum mengerti bahwa tindakannya ini ditimpakan juga untuk dirinya sendiri. Yang artinya, tindakan marah yang ditujukan kepada anak sebetulnya juga ditujukan kepada dirinya sendiri. Marah terhadap anak berarti marah terhadap dirinya sendiri.
Kalau ini yang terjadi, maka sebuah kerugian sudah nyata. Sebab, sudah pasti anak akan menjadi terpuruk dan kehilangan kepercayaan diri. Sementara itu, orangtua sudah masuk ke zona tak menghargai keberadaan anak.