Berbeda agama tak menghalangi relasi persahabatan. Kami, maksudnya keluarga kami, sudah sejak lama membangun persahabatan dengan rekan yang berbeda agama. Rekan kami beragama Islam, kami beragama Kristen.
Saat Idul Adha, yang dalam keyakinan kami tak ada, tapi kami masih dapat merasakan yang dirasakan oleh rekan kami ini. Sebab, tetiba kami mendapat kiriman daging, yaitu daging kurban.
Digantungkan di handel pintu. Ini cara yang sudah biasa dilakukan karena rekan kami tak mau mengganggu kondisi kami, yang selalu dipikirnya kami istirahat atau tidur. Dan, membangunkan berarti mengganggu.
Tapi, gawai menjadi media komunikasi yang canggih. Sekalipun tak bertemu langsung, komunikasi melalui gawai ini menjadikan kami mengetahui bahwa daging yang digantungkan di handel pintu berasal dari dirinya.
Perihal yang kami alami ini bukan mustahil juga dialami oleh orang lain. Mungkin di antaranya, termasuk Anda (sendiri). Baik dalam momen Idul Adha seperti yang hingga kini masih dirasakan maupun dalam momen yang berbeda. Begitu bukan?
Yang pasti, sahabat atau rekan umumnya selalu memaknai sungguh berarti momen yang khusus. Idul Adha merupakan momen yang khusus bagi sahabat-sahabat muslim, seperti sahabat kami ini.
Momen yang khusus ini, olehnya, ternyata dimaknai lebih terbuka alias inklusif. Daging kurban yang menjadi haknya dan pihak yang membutuhkan dapat juga menjadi --jika boleh saya bilang-- hak sahabatnya, yaitu kami.
Betapa kami tak merasa bersukacita kalau kesukacitaan sahabat kami dibagikan juga kepada kami. Menerima daging kurban sangat menyenangkan alias menyukacitakan.
Tapi, yang lebih daripada itu, sebetulnya adalah betapa rekan kami memaknai hari khusus ini sangat berarti karena semakin mempererat simpul persahabatan.
Hal ini dilakukannya untuk kami setiap Idul Adha. Sejak kami menjalin persahabatan dengannya, entah tepatnya kapan saya sudah lupa, selalu melakukan seperti yang ia lakukan pada Idul Adha kali ini. Ia mengirim daging kurban untuk kami.