Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Jagung Bakar, Spirit Keakraban yang Menghangatkan

26 Mei 2024   16:39 Diperbarui: 28 Mei 2024   01:33 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1: Penjual jagung bakar di tepi Jalan Selamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu. (Dokumentasi pribadi)

Dulu, saat saya masih kecil, sering membakar jagung. Jagung hasil panen sendiri. Sebab, masyarakat di desa saya tinggal, termasuk orangtua, kadang bercocok tanam jagung. Kalau musim jagung, panen jagung. Pada musim seperti ini, saya sering membakar jagung.

Tentu tak saya saja. Anak-anak seusia saya juga senang membakar jagung. Pun demikian orangtua saya, yang tentu tak jauh beda dengan orangtua anak-anak seusia saya.

Remaja dan pemuda juga sama, senang membakar jagung. Musim panen jagung memang musimnya masyarakat membakar jagung. Di mana-mana, baik di rumah maupun di ladang. Pada musim panen jagung, di ladang di banyak titik pasti terlihat asap mengepul.

Itu pertanda ada orang membakar jagung. Jagung yang dibakar adalah jagung yang tergolong masih muda. Sehingga, saat digigit empuk, juga terasa manis.

Sekali membakar jagung, umumnya, dapat menghabiskan dua-tiga jagung tiap orang. Tak bosan. Sebab, aroma dan rasa jagung begitu khas. Pasti ingin tambah jika perut belum terasa kenyang.

Sehabis makan jagung bakar, bibir hitam penuh dengan warna arang, sudah biasa. Tak jijik. Sebab, warna hitam yang menempel di bibir seakan menandai bahwa orang termaksud dapat menikmati jagung bakar secara sempurna.

Kini, membakar jagung tak harus di rumah dan di ladang. Boleh jadi yang seperti itu malah tak ada lagi. Sebab, jagung sudah menjadi barang komoditas yang menarik. Buktinya, sudah banyak ditemukan penjual jagung bakar.

Ilustrasi 1: Penjual jagung bakar di tepi Jalan Selamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 1: Penjual jagung bakar di tepi Jalan Selamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu. (Dokumentasi pribadi)

Tak hanya di desa, tapi sudah merebak ke kota. Saat kami ke Solo, misalnya, kami menemukan penjual jagung bakar di tepian Jalan Selamet Riyadi. Yang boleh disebut sebagai jalan yang berada di pusat kota.

Kami tertarik. Sehingga, bersepakat membelinya. Di lokasi sudah banyak orang yang antre. Kami harus sabar menanti. Terlihat di area sekitar tempat jagung bakar, sudah ada banyak orang membentuk himpunan duduk lesehan di atas tikar.

Ternyata tikar disediakan oleh penjual jagung bakar. Masih ada banyak tikar yang tergulung disandarkan di motor di dekat dinding bangunan. Jika pembeli datang, umumnya, mereka mengambil tikar yang digulung untuk digelar sendiri sesuai selera.

Setiap tikar ada yang berisi dua orang, tiga orang, dan empat orang. Jika dalam satu himpunan ada banyak orang, misalnya, mereka menggelar dua tikar. Himpunan orang yang sudah duduk ini sudah memesan.

Bahkan, sudah ada yang menikmatinya. Mereka menikmatinya dengan cara menggigit. Baik bagi lelaki maupun wanita. Menikmati jagung bakar memang dengan cara menggigiti sedikit demi sedikit, kecuali yang jagungnya diserut. Ini sensasi yang khas saat menikmati jagung bakar.

Ilustrasi 2: Jagung bakar siap santap. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Jagung bakar siap santap. (Dokumentasi pribadi)

Kami juga menggelar tikar. Selama masih menunggu pesanan diantar, kami membangun bincang-bincang seperti beberapa himpunan orang yang berada di tikar lain. Saya sempat bincang-bincang dengan penjual, yang menangani bagian mengupas jagung dan membuat minuman untuk pembeli.

Dikatakannya bahwa saat malam Minggu, malam Senin, dan malam-malam hari libur, dapat menghabiskan jagung rerata 300 buah. Satu buah jagung bakar seharga lima ribu rupiah.

Durasi waktu berjualan dari petang hingga pukul 23.00 WIB. Sedangkan, pada hari-hari biasa menghabiskan sekitar 150 buah jagung.

Disebutkan pula, ayahnya, kebetulan yang saya ajak bincang-bincang anaknya, sudah menjalani berjualan jagung bakar lebih dari sepuluh tahun. Ia ikut membantu ayahnya sejak lulus sekolah menengah.

Pada era saya masih kecil, jagung bakar hanya satu rasa, yaitu rasa alami (original). Karena, tanpa ada tambahan apa pun. Hal ini berbeda dengan jagung bakar pada era sekarang. Karena untuk menjaring pembeli dimunculkan beragam cara.

Salah satunya, tersedia pilihan rasa. Ada rasa asin, manis, coklat, manis-asin, pedas-asin, pedas-manis, dan yang lain. Pilihan rasa ini yang dapat menyedot pembeli. Rerata pembelinya kalangan muda.

Saat kami berada di antara pembeli, saya dan istri yang terlihat paling tua. Banyak anak sekolah dan kuliah seusia anak kami yang terlihat di lesehan jagung bakar termaksud.

Agaknya gambaran seperti ini tak jauh berbeda dengan kondisi riil di beberapa daerah. Termasuk di daerah Kudus, Jawa Tengah (Jateng). Di beberapa lokasi di Kudus yang berjualan jagung bakar selalu diserbu oleh generasi muda.

Sangat jarang ada pembeli yang berusia dewasa. Ini ada benarnya juga sebab yang namanya jagung itu keras. Dan, orangtua kurang tertarik dengan makanan yang keras, yang sangat mungkin dapat menanggalkan gigi.

Saya memandang adanya generasi muda kota menyukai jagung bakar merupakan sebuah perubahan. Sebab, jagung merupakan hasil pertanian yang begitu dekat dengan masyarakat desa, kini, disukai generasi muda kota.

Memang sangat mungkin, mereka yang disebut generasi muda kota yang menyukai jagung bakar itu tak semua terlahir dari masyarakat kota. Boleh jadi mereka adalah generasi muda desa yang menempuh pendidikan atau bekerja di kota.

Tapi, apa pun dikata jagung bakar sudah memikat hati masyarakat kota. Lebih-lebih masyarakat kota generasi muda. Yang, mobilitas hidupnya sudah pasti (sangat) cepat dan keras.

Karenanya, saya menemukan hal yang patut dibanggakan sebagai budaya positif yang melekat ketika mereka membeli jagung bakar. Sebab, membeli jagung bakar ternyata melahirkan spirit keakraban di kalangan generasi muda.

Anda yang pernah menjajal beli jagung bakar di mana pun, kini, mudah menemukan himpunan orang menunggu pesanan atau menikmati jagung bakar. Mereka pada waktu menunggu pesanan atau menikmatinya sudah pasti saling berbincang. Tak mungkin saling diam.

Sekalipun menunggu pesanan dalam waktu yang lama, mereka tak tampak lelah. Sebab, mereka menghanyutkan diri dalam berbagi cerita.

Apalagi ketika mereka sedang menikmati jagung bakar yang sudah dipesan. Duduk lesehan menggigiti jagung bakar sembari berbagi cerita dalam waktu yang lama pun tak bakal terasa.

Itulah spirit keakraban yang terjadi di antara mereka. Spirit keakraban meleburkan perbedaan. Sehingga, tak ada sekat di antara mereka. Kondisi ini memungkinkan mereka dapat saling membantu.

Ilustrasi 3: Mengupas jagung dan tikar yang masih digulung. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 3: Mengupas jagung dan tikar yang masih digulung. (Dokumentasi pribadi)

Misalnya, di antara mereka ada yang belum memiliki pekerjaan, sangat mungkin dalam keakraban solusinya ditemukan. Pun demikian hal-hal lain yang membutuhkan pertolongan, keakraban yang terbentuk dapat menjadi media memecahkan masalah.

Spirit keakraban yang melekat di dalam aktivitas menikmati jagung bakar oleh generasi muda perlu diapresiasi. Sebab, mereka menghargai hasil pertanian, yakni jagung.

Bahkan, jagung bakar seolah menjadi camilan favorit generasi muda di banyak tempat, seperti sudah disebutkan di atas, justru banyak ditemukan di kota. Jagung (bakar) sudah menyatu dengan kehidupan generasi muda kota.

Selain itu, generasi muda yang berhimpun menyantap jagung bakar dan berbagi cerita, tentu saja mengistirahatkan gawainya. Sekalipun sementara waktu.

Tapi, waktu ini sekurang-kurangnya dapat untuk mengembalikan pikiran dan benak mereka ke keadaan yang natural. Tak terganggu oleh gelombang informasi digital yang terus menggempur.

Karenanya, fenomena jualan jagung bakar yang ada di banyak tempat, terutama di kota-kota, yang menjadi buruan generasi muda, perlu diberi ruang untuk terus bertumbuh. Agar, spirit keakraban di kalangan generasi muda terus menghangat dan meluas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun