Sate kerbau atau sate kebo merupakan sate khas Kudus, Jawa Tengah (Jateng). Tapi, jika dihitung, penjual sate ayam di Kudus lebih banyak ketimbang penjual sate kerbau.
Pun demikian penjual sate kambing jumlahnya lebih banyak daripada penjual sate kerbau. Jika diurutkan, urutan pertama penjual sate ayam; urutan kedua penjual sate kambing; urutan ketiga penjual sate kerbau.
Sekalipun penjual sate kerbau jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penjual sate ayam dan sate kambing, tapi Kudus lebih dikenal dengan sate kerbaunya.
Dulu, pada tahun 2000-an, saya pernah membeli sate kerbau. Ingin mencobanya sebab waktu itu saya baru memasuki Kudus dan melihat ada sesuatu yang berbeda. Sebelumnya, saya tak pernah makan sate kerbau. Tapi, setelah itu, saya tak pernah membeli lagi.
Sebab, lidah saya yang biasa menyantap masakan rasa asin, berpindah merasakan masakan manis, kurang dapat menerimanya. Sebelum ada ide menulis ini, saya belum memiliki keinginan lagi menyantap sate kerbau seperti pada tahun 2000-an.
Tapi, ternyata tak sedikit orang yang menyukai sate kerbau. Seperti salah satu teman saya, yang juga guru dalam satu sekolah, menyatakan bahwa sate kerbau itu enak. Memang enak! Dan, ia tak satu-dua kali menikmatinya. Sudah banyak kali. Sehingga, ia pun mengetahui sate kerbau legendaris di Kudus.
Saya mengetahui lokasi sate kerbau yang legendaris ini setelah diberitahunya. Sore, sekitar pukul 16.00 WIB, saya sengaja mendatangi lokasi termaksud. Tapi, tutup. Hanya ada beberapa meja kosong. Yang, setali tiga uang dengan beberapa kursi.
Paginya saya mendatangi lagi. Mengajak satu teman guru. Yang, sudah saya sebutkan di atas, ia suka sate kerbau, itu alasan saya mengajaknya.
Benar. Sate Kerbau Pak Min Jastro, yang oleh teman saya disebutnya melegenda itu, tak terbantahkan. Buktinya, saat kami memasuki warung termaksud, sudah ada beberapa orang yang menunggu. Selain itu, sejarah tahun Sate Kerbau Pak Min Jastro yang terpampang di papan identitas, tertulis angka 1950, yang artinya sudah berusia 74 tahun.
Kami melihatnya, saat itu, warung baru buka. Sebab, terlihat arang untuk membakar sate baru dinyalakan. Kami duduk dekat dengan tempat membakar sate. Sehingga, saya dapat mengambil gambar dengan mudah.
Dengan Pak Totok, yang saat itu sibuk membakar sate, yang kemudian kami mengetahuinya bahwa ia generasi ketiga Mbah Jastro, saya izin mengambil beberapa gambar. Memfoto, maksud saya.
Dan, puji syukur, diizinkan. Bahkan, kami akhirnya dapat berkomunikasi dengannya sembari menunggu giliran kami mendapat sate kerbau. Ia menceritakan silsilah Sate Kerbau Pak Min Jastro, yang kini diteruskannya.
Awalnya, pada 1950, Jastro, kakek Pak Totok, menjual sate kerbau. Lalu, dilanjutkan oleh ayah Pak Totok, Min sebutannya. Jadilah papan nama warung sate kerbau yang kini dikelola oleh Pak Totok diberi identitas "Sate Kerbau Min Jastro".
Saya mengetahui ada tiga jenis hidangan sate di warung Sate Kerbau Min Jastro, setelah dijelaskan oleh Pak Totok. Yaitu, sate dari daging kerbau yang digebug (dikeprek); sate koyor kerbau; sate jeroan kerbau. Kami memesan dua jenis, yaitu daging dan koyor.
Di piring yang beralas daun pisang dijejer sate kerbau, daging dan koyor, di hadapan kami. Aromanya langsung menyeruak ke lubang hidung kami. Aromanya khas. Tentu saja rasanya juga khas. Nasi putih di atas piring yang beralas daun pisang dalam hitungan detik sudah berada di hadapan kami. Lalu, disusul semangkok lombok yang dikukus, juga bumbu dalam baskom yang berupa adonan kacang dan gula jawa.
Kami siap menyantapnya. Saya tak menuangkan bumbu di sate yang sudah siap disantap bersama nasi. Sebab, tanpa bumbu pun, rasanya (ternyata) sudah nikmat. Sedangkan teman saya menuangkan bumbu di sate yang sudah menyatu dengan nasi setelah beberapa lombok dilumat di piringnya. Ia menikmatinya, terlihat lahap selahap saya.
Anda boleh menikmati sate kerbau ini tak harus menuangkan bumbu. Sebab, bumbu sate sudah melekat juga di sate yang dibakar. Ketika dibakar, sate terlebih dulu dicelupkan kedalam bumbu. Maka, saya, yang tak suka manis-manis, cukup menikmatinya tanpa menuangkan bumbu.
Jika Anda menyukai dominan manis, silakan tuangkan bumbu sesuai kesukaan Anda. Toh, bumbu yang disediakan di dalam baskom boleh secara bebas pembeli menikmatinya. Pastilah nikmat sesuai selera lidah Anda.
Jangan kaget, saat memesan dan duduk, Anda akan disuguhi sepiring sate. Boleh dimakan semua. Boleh juga sebagian. Karena, saat hendak membayar setelah usai menyantapnya, yang dihitung tusuk satenya. Jadi, besar kecilnya membayar tergantung banyak sedikitnya tusuk sate. Sate yang masih lebih dipiring tak ikut hitungan sehingga tak perlu dibayar.
Sebenarnya, ada beberapa warung sate kerbau di Kudus. Tapi, yang melegenda adalah sate kerbau Mbah Jastro, yang kini terlabeli nama Sate Kerbau Khas Kudus "Pak Min Jastro" Nusantara. Yang, berlokasi di Ruko K.H. Agus Salim Kudus, sebelah timur Tugu Identitas Kudus.
Di warung Sate Kerbau Khas Kudus "Pak Min Jastro" Nusantara tak menyediakan sate kerbau dari daging kerbau yang digiling. Di beberapa warung sate kerbau yang lain, ada yang menjual sate kerbau dari daging kerbau yang digiling.
Caranya, daging kerbau yang sudah digiling tersebut dililitkan pada tusuk sate. Jadi, yang berada di tusuk sate itu bukan irisan daging kerbau, bukan juga daging kerbau yang dikeprek, tapi daging kerbau yang digiling. Bumbunya sama. Rasanya juga enak, dan tentu lebih empuk.
Di Kudus, Anda tak bakal menemukan sate sapi seperti yang sangat mungkin Anda dapat menemukannya di daerah lain. Terkait dengan hal ini, boleh jadi sebagian dari Anda sudah mengetahui sejarahnya. Karenanya, sekadar untuk mengingatkan, berikut saya catatkan sejarahnya secara singkat.
Dulu, pada masa Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di Kudus, banyak orang yang sudah memiliki keyakinan atau kepercayaan Hindu. Masyarakat yang beragama Hindu sangat memuliakan sapi. Sapi, dalam iman mereka, dianggap suci. Karenanya, dalam masyarakat yang seperti ini, Sunan Kudus menanamkan dalam diri pengikutnya sikap menghargai kepercayaan lain.
Maka, pengikutnya tak boleh menyembelih sapi dalam acara apa pun. Termasuk dalam acara Iduladha. Jika ingin menyembelih hewan yang seukuran sapi, mereka hanya diizinkan menyembelih kerbau. Ini bentuk menghargai atau bertoleransi terhadap masyarakat yang berkeyakinan Hindu.
Cara ini dapat menjaga kenyamanan dan keamanan hidup bersama dalam masyarakat. Karena sikap toleran ini, ajaran Sunan Kudus akhirnya dikenal oleh masyarakat. Bahkan, ada juga yang mengikutinya.
Dan, hingga kini tak ditemukannya sate sapi di Kudus boleh jadi sebagai indikasi bahwa masyarakat Kudus tetap merawat toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus. Yaitu, merawat toleransi hidup bersama di tengah-tengah masyarakat yang beragam.
Merawat toleransi yang seperti ini yang semestinya ditanamkan di dalam diri setiap insan, terlebih di dalam diri anak-anak. Maka, ketika Anda mencicipi sate kerbau di Kudus bersama keluarga, sejarah singkatnya perlu dijadikan bahan bincang-bincang sembari menikmati lezatnya sate kerbau khas Kudus.
Menyuarakan hidup bertoleransi dalam masyarakat yang beragam latar belakang melalui kulineran sate kerbau khas Kudus sangat besar manfaatnya. Sebab, selain Anda kenyang, juga bertambah wawasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H