Hampir dapat dipastikan kasus atau persoalan sederhana ditemukan di kelas. Tentu kasus yang dialami oleh siswa. Kasus ini dapat terjadi saat pembelajaran berlangsung. Atau, dapat juga saat di luar jam pembelajaran.
Kasus sederhana ini, misalnya, siswa lupa membawa buku pelajaran. Siswa meminjam alat tulis milik teman, menyembunyikan barang teman, melempar gumpalan kertas, dan membiarkan kertas terjatuh di lantai kelas. Masih banyak yang lainnya, termasuk menyontek saat ulangan, mencoret dinding, meja, dan sejenisnya.
Kasus ini berbeda dengan, misalnya, bertengkar dengan teman, mengambil barang milik teman, merundung teman, merokok, minum-minuman keras, dan mengambil jajan di kantin tanpa membayar.
Kasus yang disebut dalam kelompok kedua merupakan kasus yang tak sederhana. Karena sudah termasuk kasus kekerasan, pencurian, dan kejahatan, yang memiliki dampak besar.
Kasus sederhana yang di dalamnya siswa terlibat perlu segera diselesaikan. Sangat tak arif ketika sebuah kasus dianggap kasus sederhana, lalu dibiarkan begitu saja. Dipikir akan hilang dengan sendirinya.
Toh demikian, ini yang sering terjadi. Guru menganggap persoalan yang dimaksud kurang penting diselesaikan. Sebab, masih ada persoalan yang lebih penting untuk dicarikan solusi. Pemikiran ini tak sepenuhnya salah. Sebab, skala prioritas dalam menyelesaikan kasus sangatlah penting.
Hanya memang, sekalipun kasus yang dijumpai termasuk kasus yang sederhana bukan berarti dibiarkan begitu rupa. Justru yang dianggap sederhana dan sering terjadi perlu mendapat penanganan yang serius.
Sebab, jika dibiarkan dengan berpegang pada pemikiran bahwa lambat laun (pasti akan) hilang sendiri, kasus tersebut malah dapat saja menjadi pemantik kasus lain, yang bukan mustahil menjadi kasus yang lebih besar.
Itu sebabnya, sesederhana apa pun setiap kasus yang ditemukan guru saat pembelajaran harus ditindaklanjuti. Caranya, didiskusikan bersama siswa di dalam kelas. Dalam konteks demikian, sumber persoalan harus dapat ditemukan terlebih dahulu.
Sekalipun, umumnya hal ini tak mudah ditemukan. Karena sangat jarang siswa (sepertinya demikian juga orang dewasa) mau segera mengakuinya. Apalagi dalam benak sebagian besar orang, termasuk siswa, telah terpatri bahwa mengakui kesalahan itu pasti ada risikonya.
Karenanya, kesabaran dan pengendalian diri sangat dibutuhkan dalam hal ini. Jika tak ada keduanya, kesabaran dan pengendalian diri, atau salah satunya (saja) dapat dipastikan kasus tersebut tak terselesaikan. Berlalu begitu saja. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dan, hal demikian sangat keliru. Persoalan sekecil atau sesederhana apa pun harus dituntaskan. Pun, siswa diajak bersama untuk menuntaskan. Dimulai dari siswa diajak mempercakapkan alasan terjadinya problem ini, yang sangat mungkin akhirnya diketahui melibatkan banyak siswa. Tak masalah. Semua siswa yang dimungkinkan terlibat harus tetap dihargai.
Mereka diajak untuk berpikir dengan benar. Terjadinya sesuatu pasti ada penyebabnya. Siswa diarahkan memahami alur ini. Sehingga, siswa terlatih untuk berpikir logis dan kritis. Terhadap kasus yang sederhana, siswa tak akan mengalami kesulitan dalam berpikir secara urut dan kritis.
Sayang, selama ini umumnya yang dapat dijumpai adalah mereka belum mau terbuka atas persoalan yang terjadi ini. Artinya, siswa (sebetulnya) telah memahami alur persoalan yang sedang terjadi, tapi mereka belum mau menyatakan secara terbuka.
Karenanya, diperlukan membangun suasana benak siswa dalam keadaan aman dan nyaman. Bahwa keterbukaan akan sangat menolong semua hal yang terjadi menjadi jelas dan mudah ditemukan solusinya.
Sekali lagi, cara ini sangat memakan banyak energi dan waktu. Tapi, jika dilakukan dengan penuh kesabaran dan pengendalian diri, hasil yang didapat membahagiakan banyak pihak, baik siswa maupun guru.
Karena, siswa mendapatkan cara baru dalam menyelesaikan kasus yang sederhana yang sedang dihadapinya. Cara baru itu adalah mereka diajak bersama mendiskusikan persoalan yang dihadapi. Juga, diajak menentukan solusinya dalam keadaan benak siswa (merasa) aman dan nyaman. Artinya, menyelesaikan persoalan tanpa ada kesan menginterogasi, apalagi mengadili.
Dengan begitu, siswa akan tetap merasa dihargai dan diberi ruang untuk bersama-sama berpikir logis dan kritis. Yang, merupakan sikap yang harus ditanamkan dalam diri siswa sejak dini karena sikap menghargai, berpikir logis dan kritis merupakan syarat yang harus dimiliki orang yang hidup pada abad modern ini.
Memang harus diakui bahwa jam untuk pembelajaran akan terpotong karena digunakan untuk mendiskusikan kasus yang terjadi. Tapi, menyelesaikan kasus, sesederhana apa pun, dengan melibatkan semua siswa dalam kelas memiliki nilai lebih berharga ketimbang melangsungkan pembelajaran dalam situasi dan kondisi kelas yang masih remang-remang, karena persoalan belum terselesaikan.
Saya pernah menghabiskan waktu dua jam pembelajaran untuk mendiskusikan kasus yang terjadi di ruang kelas karena ada "Pin Stop Bullying" yang hilang, hanya satu pin. Tapi, sekalipun satu (kecil dan sederhana), pin yang harus dikenakan oleh siswa merupakan benda yang berharga.
Maka, saya memandang hal ini harus diselesaikan. Di sekolah kami, setiap siswa mengenakan pin yang berisi kata positif. Misalnya, "Menghargai", "Rukun", "Jujur", dan "Ikhlas". Pin yang berisi kata positif yang berbeda dikenakan oleh setiap siswa.
Setiap hari pin ini dipakai secara bergantian. Misalnya, si A hari ini mengenakan pin yang berisi kata positif "Jujur", besok mengenakan pin yang berisi kata positif "Ikhlas". Ini berlaku juga untuk siswa yang lain.
Jika di kelas ada satu pin yang hilang, berarti ada satu siswa yang tak mengenakan pin pada setiap harinya. Ini mungkin dipandang sepele. Tapi, akan berdampak besar jika dibiarkan.
Itu sebabnya, saya mengajak siswa mendiskusikan hilangnya pin itu. Sementara menyisihkan mata pelajaran (mapel) yang semestinya saya ajarkan.
Dapat mengajak siswa memikirkan dan merenungkan sekaligus mendiskusikan kasus ini hingga menemukan alur hilangnya pin dan cara mengganti pin merupakan keberhasilan bersama.
Keberhasilan bersama ini berefek terhadap situasi dan kondisi kelas menjadi nyaman. Sehingga, misalnya, masih ada waktu untuk kelangsungan pembelajaran saat itu, dipastikan proses pembelajaran berlangsung menggembirakan. Karena, tak ada lagi persoalan yang harus didiskusikan.
Jadi, setiap ada kasus, sekali lagi, yang sederhana pun yang terjadi di kelas, yang kemudian segera ditangani dengan melibatkan semua siswa dalam satu kelas merupakan prioritas. Sebab, hal ini, sejatinya, sebagai momen membangun sikap dan karakter siswa untuk mendasari pembelajaran berlangsung nyaman, sejahtera, dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H