Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Halalbihalal ke Rumah Guru, Cara Siswa Memaknai Lebaran

15 April 2024   10:44 Diperbarui: 16 April 2024   02:46 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 2: Siswa yang berbeda keyakinan turut bergabung dalam halalbihalal di rumah guru pada lebaran 2024. (Dokumentasi pribadi)

Siswa memiliki energi batin yang sangat kuat pada masa lebaran, khususnya terhadap guru. Betapa tidak, sekalipun sekolah sudah mewartakan bahwa saat masuk pertama sekolah, sehabis libur lebaran, ada halalbihalal di sekolah dengan guru, mereka tetap saja berbondong-bondong ke rumah guru pada masa lebaran.

Fenomena menarik seperti ini sudah sangat lama berlangsung. Ini sebuah budaya turun-temurun. Angkatan terbaru mengikuti kebiasaan angkatan sebelumnya. Pun demikian angkatan sebelumnya meneruskan kebiasaan angkatan sebelumnya lagi.

Begitu dan begitu seterusnya. Hingga pada masa kini, siswa yang tumbuh kembang di tengah lingkungan yang seolah relasi antarsesama sudah terpenuhi melalui perangkat teknologi, yaitu gawai, tetap saja mereka memiliki energi batin yang sangat kuat bersilaturahmi langsung dengan gurunya.

Saya pernah mengalaminya sendiri. Sekalipun saya berkeyakinan berbeda. Dan, mereka sudah mengetahui tentang perbedaan ini.

Juga, hal yang sama dialami oleh rekan guru yang satu keyakinan dengan saya, yang berarti berbeda dengan keyakinan mereka. Ini fenomena yang sangat bermakna dalam mengikat kebersamaan sekalipun berbeda.

Dan, sudah pasti mereka melakukan yang sama terhadap guru yang satu keyakinan dengan mereka. Seperti umumnya mereka bersama dengan  orangtuanya melakukannya di tempat tinggal mereka. Yaitu, halalbihalal  ke kerabat dan tetangga satu keyakinan.

Pada masa lebaran ini, mereka halalbihalal dengan guru-guru yang setiap hari saat mereka sekolah dapat dijumpainya. Tak membedakan satu dan yang lain.

Intinya, sebagian guru didatangi, baik yang mengajarnya maupun yang tidak. Bahkan, baik yang satu keyakinan dengannya maupun tidak. Tentu saja yang terjangkau oleh mereka. Sebab, ada juga guru yang tempat tinggalnya jauh, bahkan di luar daerah.

Saya memiliki keyakinan besar bahwa hal yang dilakukan oleh siswa kami, sangat mungkin dilakukan oleh siswa di sekolah lain. Karena, hal seperti ini sangat cepat menginspirasi.

Siswa sekolah mana yang lebih dulu melakukan dan siswa sekolah mana yang melakukan di kemudiannya tak diketahui persis. Tapi, baik yang lebih dulu melakukan maupun melakukan di kemudiannya, sama-sama telah memaknai lebaran dengan baik.

Karena, pertama, siswa menghayati tradisi masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang. Mereka menjaga tradisi saling berkunjung yang sudah berlangsung di masyarakat.

Orang yang dikunjungi adalah mereka yang umumnya dituakan. Dan, prinsip ini mereka memahaminya. Maka, guru-guru, oleh mereka yang dipahami sebagai orangtua patut didatangi saat lebaran.

Mereka merencanakan kunjungan ke rumah guru dengan baik. Dari tempat mereka berkumpul pertama sebagai titik kumpul hingga daftar guru-guru yang harus dikunjungi sudah diagendakan.

Titik kumpul mereka umumnya di sekolah. Lokasi  sekolah lebih memenuhi keinginan mereka.  Karena, selain sudah biasa didatangi, tak banyak pertimbangan. Sehingga, sudah pasti disepakati.  Selanjutnya, dari sekolah mereka melakukan secara bareng menuju ke rumah guru.

Ini artinya, mereka memahami bahwa berkunjung saat lebaran tak hanya dalam lingkup keluarga, kerabat, tetangga, tapi juga orang-orang yang memiliki relasi dengannya, dalam hal ini guru.

Sayang, hal yang sudah disampaikan oleh sekolah bahwa mereka tak boleh mengendarai motor saat halalbihalal ke rumah guru, sering tak dipenuhi. Mereka tetap mengendarai motor. Ada yang sendirian; ada yang berboncengan.

Cara ini berbahaya. Selain mereka belum cukup umur mengendarai motor, yang bukan mustahil kena tilang polisi, tapi juga rentan kecelakaan.

Sebab, senda gurau sepanjang perjalanan sangat mungkin terjadi di antara mereka, yang memang masih remaja. Sehingga, kontrol menjadi kurang.

Apalagi kondisi jalan ramai. Situasi dan kondisi yang seperti  ini yang berbahaya. Baik bagi dirinya  sendiri maupun pengguna jalan yang lain.

Guru akhirnya (hanya) sebatas memberi nasihat saat mereka hendak meninggalkan rumah guru sehabis halalbihalal agar hati-hati di jalan. Selepas itu, guru hanya dapat berharap perjalanan mereka menuju halalbihalal ke guru-guru yang lain penuh keselamatan.

Kedua, siswa memiliki kesadaran bahwa orang perlu meminta maaf karena kesalahan. Mereka merasa perlu meminta maaf kepada guru, yang dianggapnya sebagai orangtua.

Karena, selama bersama dengan guru, dalam renungan saya, mereka merasa pernah membuat guru sedih, kecewa, bahkan marah.

Meskipun tentu ada siswa yang secara pribadi tak pernah melukai benak guru, ia tetap merasa turut bersalah ketika guru sedih, kecewa, bahkan marah di kelas. Kesadaran seperti ini tentu saja wajar, tak ada yang keliru.

Justru dalam konteks ini, siswa yang bersangkutan memperkuat rasa empati kepada teman-temannya. Yang, sekaligus menyadari bahwa orang pasti memiliki kesalahan. Halalbihalal ke rumah guru menjadi momen yang tepat meminta maaf atas kesalahan yang pernah terjadi.

Ketiga, lebaran dirayakan secara bersama-sama  di rumah guru dalam bentuk halalbihalal menjadi kerinduan siswa pada setiap tahunnya. Maka, jauh-jauh hari sebelum tiba waktu lebaran, siswa sering menanyakan alamat atau tempat tinggal guru.

Sikap ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar menghargai momen lebaran sebagai ruang untuk berjumpa bersama, baik dengan teman maupun dengan guru. Yaitu, merayakan kegembiraan bersama setelah sebelumnya merayakan kegembiraan lebaran bersama keluarga di rumah.

Siswa yang berkeyakinan non-muslim juga bergabung di dalamnya. Jadi, halalbihalal ke rumah guru saat lebaran milik bersama. Tak ada pembedaan. Bahkan, seperti sudah disebutkan di atas, mereka juga berkunjung ke rumah guru yang berkeyakinan berbeda, merayakan kegembiraan lebaran bersama.

Ilustrasi 2: Siswa yang berbeda keyakinan turut bergabung dalam halalbihalal di rumah guru pada lebaran 2024. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Siswa yang berbeda keyakinan turut bergabung dalam halalbihalal di rumah guru pada lebaran 2024. (Dokumentasi pribadi)

Merayakan kegembiraan lebaran di rumah guru sangat sederhana. Jarang siswa ada yang mau menikmati kue-kue lebaran yang disediakan oleh guru. Kalau pun ada, paling satu-dua kue.

Yang, justru dilakukan oleh siswa adalah senda gurau antarmereka. Mereka berbagi cerita mengenai perjalanan halalbihalal dari satu guru ke guru yang lain.

Karena, sangat mungkin guru yang didatangi menanyakan sudah melakukan kunjungan ke mana saja. Pada poin ini, siswa umumnya bercerita. Satu dengan yang lain saling melengkapi.

Dan, ini yang lazimnya menghabiskan waktu panjang. Tapi, pada sesi inilah kegembiraan lebaran dirayakan bersama.

Keempat, sekalipun bagi anak sekolah menengah pertama (SMP) dan yang sederajat halalbihalal ke rumah guru saat lebaran tak mengharap tunjangan hari raya (THR) lebaran atau di daerah kami sering disebut wisit, bagi anak sekolah dasar (SD) dan yang sederajat  berbeda. Wisit adalah bagian yang diinginkan.

Saat sebelum pensiun, tetangga saya yang guru SD ketika lebaran selalu menyiapkan uang lima ribuan baru. Selain untuk dibagikan per lembar kepada anak-anak tetangga yang berkunjung, juga dibagikan kepada siswanya yang datang ke rumahnya halalbihalal.

Kalau anak SMP dan yang sederajat saja tak mengharapkan wisit saat halalbihalal ke rumah guru, apalagi anak sekolah menengah atas (SMA) dan yang sederajat. Tentu saja wisit dari gurunya tak masuk dalam kamus mereka.

Sekalipun wisit dari orangtua, saudara, dan kerabat dekat sangat diharapkan. Si bungsu, yang SMA, misalnya, saat kami ajak berkunjung ke rumah budenya (kakak saya perempuan)  yang beragama Islam pada lebaran kali ini, seperti pada lebaran-lebaran sebelumnya, saat masih dalam perjalanan yang dipercakapkan dengan kakaknya, si sulung yang sudah bekerja, adalah wisit. Sekalipun saya mengetahui bahwa percakapan mereka  dibalut dengan gurauan.

Hanya, saat di rumah budenya, mereka dapat wisit betulan. Si bungsu menerimanya dengan rasa gembira. Sedangkan, si sulung tak mau menerimanya karena merasa sudah bekerja dan mendapat penghasilan sendiri.

Bahkan, dalam kunjungan itu, si sulung memberi wisit cucu budenya yang masih kelas 3 SD. Cucu budenya berarti anaknya saudara sepupu si sulung. Kedua anak kami memanggil sepupunya itu biasanya menggunakan sapaan "mbak" karena saudara sepupunya itu wanita. Jadi, si sulung berarti memberi wisit kepada keponakannya.

Wisit, sekali lagi, tak menjadi tujuan utama siswa kami yang bersilaturahmi ke guru-gurunya saat lebaran. Mereka memang hendak halalbihalal. Itu saja.

Hanya, memang, guru-gurunya yang berasal dari luar daerah tak dapat dikunjungi. Sebab, mereka tentu mudik. Jadi, halalbihalalnya di sekolah saat masuk pertama setelah libur lebaran seperti yang sudah diwartakan oleh sekolah kepada mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun