Upaya penghapusan ini tak mungkin dapat terwujud jika sekolah dan sanggar olahraga tak memulainya terlebih dahulu mengerti secara benar bahwa Popda, yang juga tentu ajang lomba-lomba yang lain, sebagai ruang belajar. Ruang belajar! Ya, ruang belajar!
Kedua, bukan mustahil pengertian yang benar ini akan mengantar sekolah dan sanggar olahraga (sendiri) ke level ruang belajar bagi siswa yang lebih komprehensif. Ruang belajar yang sesungguhnya, yang esensi, yang dapat melahirkan pribadi-pribadi yang tangguh, inklusif, dan terus produktif.
Sekolah dan sanggar olahraga tak mendoktrin siswanya harus menjadi pemenang. Menang hanyalah sebagai vitamin yang patut disyukuri bersama karena proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dan guru atau pembina mencapai taraf maksimal.
Jika ini yang terjadi, maka dipastikan tak ada siswa yang menangis, kecewa, sedih, bahkan pesimis saat pulang dari Popda, juga dari ajang lomba-lomba yang lain, sekalipun tak membawa pulang trofi, piagam, dan uang pembinaan.
Mereka akan tetap menjadi pribadi yang menerima fakta, yang berpikir positif, yang optimis, dan yang selalu mau belajar dari mana pun, kapan pun, dan apa pun yang mereka hadapi dan alami.
Termasuk di dalam ajang Popda, mereka menyadari belajar banyak hal. Sehingga, sepulang lomba, mereka diperkaya dengan pengalaman belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H