Saya mendapat undangan dari tetangga dekat terkait dengan kehamilan. Setahu saya terkait dengan kehamilan, hanya ada tradisi Mitoni. Mitoni bermula dari kata pitu (bahasa Jawa), yang berarti tujuh.Â
Jadi, Mitoni merupakan masa kehamilan tujuh bulan yang ditandai dengan sebuah acara khusus. Yaitu, mengundang tetangga untuk mengikuti kenduri. Dan, mereka yang diundang saat pulang membawa berkat. Tapi, sebelumnya, ada doa yang dilantunkan bersama, yang dipimpin oleh sesepuh, yang setahu saya, di perkampungan kami tinggal, orangnya tetap.
Karena setiap ada acara kenduri, sesepuh ini yang selalu memimpin. Termasuk, ketika ada kematian bagi warga yang beragama Islam, ia yang lebih banyak memimpin prosesinya. Ia lebih menyerupai lebai.
Kenduri Mapati, baru sekali ini saya mengikutinya. Sebelumnya, saya lebih sering mengikuti kenduri arwah, atau kenduri orang mau menikah dan khitan.
Karenanya, saya bertanya-tanya dalam hati ketika menerima undangan Mapati. Ternyata, Mapati berasal dari kata papat (bahasa Jawa), yang berarti empat. Jadi, Mapati merupakan masa kehamilan empat bulan.
Setahu saya terkait dengan kehamilan, seperti yang sudah disebutkan di atas, hanya Mitoni. Itu saja. Itu pun, seingat saya, saya sangat jarang mengikutinya. Karena hal ini mungkin terkait dengan kerap atau jarangnya orang hamil.
Selain itu, juga orang yang diundang terbatas, menyesuaikan dengan anggaran yang dimiliki keluarga bersangkutan. Semakin memperluas radius orang yang diundang semakin banyak anggaran yang dibutuhkan. Semakin mempersempit radius orang yang diundang semakin sedikit anggaran yang diperlukan.
Kenduri Mapati di rumah tetangga, yang saya ikut menghadirinya, diawali dengan menikmati santapan jajan dan teh. Ini dilakukan agak berbeda dengan yang biasa saya mengikutinya. Sebab, jajan dan teh biasanya dikeluarkan di bagian akhir acara, setelah doa dilantunkan, atau persis menjelang pulang.
Cara berbeda ini dilakukan agar orang yang diundang, yang datangnya lebih dulu tak hanya diam. Tapi, mereka dapat menikmati jajan dan teh yang sudah disediakan. Saat itu keluarga mesti mengajaknya bercakap-cakap. Tapi, ketika ada jajan dan teh yang dapat dinikmati sembari bercakap-cakap tentu lebih gayeng.
Maka, sekalipun cara ini berbeda dengan yang sudah sering saya mengikutinya, dapat menjadi rekomendasi untuk ditiru. Sebab, realitanya memang lebih gayeng. Sembari menunggu yang lain datang, orang-orang yang lebih awal datang dapat makan-minum dan bercakap-cakap.
Kondisi ini pun menciptakan seolah waktu menjadi lebih pendek. Tiba-tiba, tanpa terasa, orang yang diundang datang semua. Dan, acara dimulai. Kalau tak menggunakan cara seperti ini, kondisi pasti berbeda, seolah waktu menjadi lebih lama.
Saya akhirnya mengetahui perihal yang utama dalam tradisi Mapati ini. Saya mengetahuinya setelah mencermati dan menyimak hal yang disampaikan oleh sesepuh yang memimpin acara sebelum memanjatkan doa.
Dalam pengantarnya, yang mengambil posisi sebagai pihak keluarga, saya mencatatnya, pertama, tetangga yang diundang diminta atau diajak untuk menjadi saksi bahwa ada keluarga selingkungan tetangga sedang mendapat anugerah kehamilan.
Hal ini dilakukan tentu saja dengan maksud agar tetangga mengetahuinya. Sehingga, tetangga lebih paham kalau-kalau --sewaktu-waktu-- orang yang hamil atau keluarganya membutuhkan bantuan. Misalnya, karena yang hamil sedang menginginkan makan ini atau itu, tetangga cepat memberi bantuan agar mudah mengadakannya.
Sebab, mengidam sering dialami oleh orang yang sedang hamil. Apalagi, jika hamil yang pertama. Acap kali orang yang hamil mengidamnya aneh-aneh. Maksudnya, kalau jenis makanan, misalnya, makanan yang langka. Sehingga, pengadaannya tak mudah.
Maka, adanya tetangga yang menjadi saksi atau mengetahui bahwa ada tetangga dekat yang sedang dianugerahi istri hamil, sangat mungkin pengadaannya lebih mudah dan cepat. Karena, ada banyak orang yang dapat membantu, sekurang-kurangnya, memberikan informasi.
Mengidam sering dieratkan dengan keinginan bayi yang masih ada dalam kandungan. Bukan keinginan ibunya. Terkait ini tergantung Anda memahaminya. Kalau pemahaman saya, mengidam itu terkait dengan keinginan ibu, bukan keinginan bayi dalam kandungan.
Pemahaman saya ini tentu saja terhubung dengan posisi saya sebagai seorang laki-laki. Sekalipun mungkin ada laki-laki yang memiliki pemahaman bahwa mengidam terkait dengan keinginan bayi dalam kandungan. Ini sah-sah saja, saya kira.
Tentu tak hanya sebatas terkait dengan mengidam tetangga perlu menyaksikan atau mengetahui bahwa ada keluarga sekitar yang sedang dianugerahi kehamilan. Tapi, lebih daripada itu adalah jika dibutuhkan bantuan mendadak dalam hal apa pun akan lebih cepat tindakannya.
Kedua, tetangga yang diundang kenduri diajak ikut memberi restu dan doa atas anugerah kehamilan yang diterima oleh keluarga. Pada poin ini saya ingin membagikan hal penting, meskipun ada banyak orang yang sangat mungkin mengalami seperti saya mengalaminya.
Ini perihal sikap bertoleransi dalam hidup bersama di masyarakat, yang penuh perbedaan. Tapi, perbedaan tersebut tak membentengi kebersamaan. Terbukti, tetangga mengundang saya ikut kenduri Mapati, meskipun kami berbeda keyakinan.
Hal ini membuktikan bahwa tetangga menghargai saya sebagai tetangga sekalipun ia mengetahui perbedaan itu. Saya pun menghargainya dengan cara datang pada acara kenduri, sekalipun saya kurang memahami tradisi yang dilakukan dan doa yang diucapkan bersama dalam bimbingan sesepuh, yang oleh tetangga kami ia sering disapa "Pak Yai".
Ini sebutan khas yang tak dimiliki oleh setiap orang. Hanya orang-orang tertentu, yaitu orang yang dituakan dan memiliki kemampuan bidang keagamaan Islam, yang saya mencoba memahaminya sama dengan sebutan "Pak Kyai".
Sekalipun saya kurang memahami doa yang diucapkan, tapi saya mengerti bahwa isi doanya adalah mendoakan orang yang hamil, bayi yang ada dalam kandungan, dan keluarga agar berada dalam keselamatan dan kebaikan. Pengertian ini saya simpulkan dari pengantar yang disampaikan oleh sesepuh, yang memimpin Mapati tersebut.
Maka, dalam keyakinan yang berbeda, saya pun mengucapkan doa dalam hati agar keselamatan dan kebaikan dialami oleh ibu yang hamil, bayi yang ada dalam kandungan, dan keluarga.
Sikap saling mendukung yang demikian ini yang tentu diidamkan oleh banyak orang dalam kehidupan bermasyarakat sekalipun berbeda latar belakang.
Sebab, dalam acara Mapati, misalnya, ada poin yang sama dipahami oleh banyak orang, yaitu mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Khalik. Ungkapan syukur ini dapat dirasakan secara bersama dalam lingkungan tetangga dekat.
Penekanan berbeda
Perihal tradisi Mapati belum pernah ada di desa asal saya. Atau, saya memang belum pernah menemukannya. Entah kalau demikian. Setahu saya, di desa asal saya hanya ada tradisi Mitoni.
Dan, salah satu teman saya satu sekolah yang kebetulan mendapat pasangan hidup dari kabupaten desa asal saya, mengatakan hal yang lebih menguatkan. Yaitu, benar bahwa di kabupaten desa asal saya tradisi Mitoni lebih ditekankan.
Ia mengalaminya sendiri. Ibu mertuanya melangsungkan tradisi Mitoni ketika masa kehamilan istrinya tujuh bulan. Tapi, katanya, saat itu tak mengundang tetangga untuk kenduri. Hanya, ibu mertuanya memberi makanan dalam menu yang khas kepada tetangga.
Makanan dalam menu yang khas disebutkannya ada kupat dan lepet. Memang benar, itu yang juga saya menjumpainya. Selalu ada kupat dan lepet di sisi nasi, dan ada lauk yang disertakan.
Sementara itu, di daerah asalnya, juga tempat kini saya berdomisili, hanya ada tradisi Mapati. Ini yang dikatakannya. Sebab, menurutnya, pada masa kehamilan empat bulan itu, roh diberikan (tentu oleh Sang Pencipta) kepada bayi dalam rahim ibunya.
Mengenai yang saya sebutkan terakhir ini, Pak Yai yang memimpin kenduri Mapati di rumah tetangga, tak menyebutkannya. Atau, menyebutkannya, tapi saya tak mendengarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H