Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengulik (Program) Guru Penggerak dan Dicabutnya Batas Usia Guru Penggerak

22 Februari 2024   08:20 Diperbarui: 24 Februari 2024   06:42 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru.(Shutterstock/Masrob via Kompas.com)

Pemerintah menargetkan jumlah Guru Penggerak hingga 2024 ada 100 ribu. Hal ini dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo (antaranews.com, 25/11/2023).

Sama persis seperti yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, bahwa pada 2024 Guru Penggerak berjumlah 100 ribu (medcom.id, 26/12/2023).

Hal ini (tentu) tak menjadi masalah. Sebab, target tersebut demi kemajuan pendidikan. Bahkan, perlu disambut dengan sukacita oleh warga bangsa.

Hanya, memang, menambah jumlah Guru Penggerak (seharusnya) perlu dibarengi dengan upaya "menjaga" keberlanjutan spirit Guru Penggerak yang sudah mengimplementasikan pengalaman pelatihannya di sekolah masing-masing.

Kurang arif kalau di satu sisi ada upaya dengan semangat menambah jumlah Guru Penggerak, tapi di sisi lain kurang ada upaya dengan semangat "menjaga" keberlanjutan spirit Guru Penggerak di sekolah.

Kita mafhum bahwa pelatihan Calon Guru Penggerak (CGP) menghabiskan anggaran tak sedikit karena berlangsung selama sembilan bulan. Begitu CGP dinyatakan lulus, mereka akhirnya menjadi Guru Penggerak. Selanjutnya, mereka mempraktikkan pengalaman pelatihannya di sekolah masing-masing.

Upaya ini sangat baik. Sebab, ditujukan agar kualitas pembelajaran di sekolah mengalami kemajuan. Yang, dapat dirasakan langsung oleh siswa.

Karena, pada intinya, Guru Penggerak memfasilitasi siswa yang (sangat mungkin) berbeda satu dengan yang lain, tapi dapat sama-sama merasakan proses pembelajaran yang bermakna sehingga kompetensi mereka terangkat.

Begitulah pembelajaran yang berpusat pada siswa yang harus dikembangkan oleh Guru Penggerak di sekolah.

Maka, keberlanjutan spirit Guru Penggerak perlu tetap terjaga. Agar, bangsa (pemerintah dan masyarakat) yang sudah mengelola dan menyediakan anggaran dalam nilai yang tak sedikit itu tak sia-sia.

Saya menyatakan demikian karena ketika saya menanyakan kepada beberapa rekan guru yang menjadi Guru Penggerak, sejak ia menjadi Guru Penggerak hingga kini belum pernah ada semacam kontrol dari pemerintah.

Artinya, begitu mereka lulus dari CGP dan menerima predikat Guru Penggerak serta mempraktikkan pengalaman pelatihannya, selama itu juga, mereka seolah lepas dari jangkauan pemerintah.

Untung kalau mereka dapat menjadi inspirator dan motivator bagi rekan guru di sekolah tempatnya bekerja. Kalau sebaliknya, kembali seperti kondisi lama, sebelum menerima predikat Guru Penggerak, tentu saja sia-sia bukan?

Ilustrasi: Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa di salah satu kelas, di SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi: Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa di salah satu kelas, di SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah. (Dokumentasi pribadi)

Tentu tak menampik ada Guru Penggerak yang dapat menjadi inspirator dan motivator bagi guru yang lain, baik guru di sekolah tempatnya mengajar maupun di sekolah lain.

Tapi, tak menampik juga ada Guru Penggerak yang tak dapat menjadi inspirator dan motivator bagi guru yang lain, sekalipun, hanya bagi guru di sekolah tempatnya mengajar.

Ini bagian yang seharusnya mendapat perhatian serius pemerintah. Agar, mereka tetap dapat membawakan peran semestinya sebagai Guru Penggerak, seperti yang sudah disebutkan di atas, sekurang-kurangnya di sekolah tempat mereka mengajar.

Yang menjadi kekhawatiran adalah pemerintah tak (mau) melihat adanya fakta yang demikian. Pemerintah mempersepsi bahwa seolah semua baik-baik saja.

Padahal, diakui atau tidak, dalam proses apa pun, termasuk Guru Penggerak yang berproses melalui Program Guru Penggerak (PGP), dapat dipastikan ada yang berhasil, ada yang kurang, atau bahkan tak berhasil. Hal ini sebuah keniscayaan.

Proses yang tak hanya menghabiskan dana yang banyak dan waktu yang lama, tapi juga tenaga, pikiran, dan perasaan, sekali lagi, harus memperoleh perhatian serius dari pemerintah yang sudah menginisiasinya.

Perhatian pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk, misalnya, asesmen terhadap Guru Penggerak. Asesmen ini sangat diperlukan. Sebab, difungsikan sebagai upaya menjaga pengalaman pelatihannya dan memberikan perhatian khusus agar pengalaman pelatihannya dapat berkembang dan berkelanjutan.

Asesmen dapat juga sebagai alat kontrol pemerintah terhadap eksistensi Guru Penggerak. Dengan begitu, dapat diketahui Guru Penggerak yang mengalami perkembangan, stagnan, dan yang (malahan) melemah.

Apakah, kini, pemerintah mengetahui eksistensi Guru Penggerak yang jumlahnya sudah puluhan ribu dalam lokasi yang tersebar? Entahlah! Misalnya, ada berapa persen yang mengalami perkembangan. Ada berapa persen yang stagnan. Dan, ada berapa persen yang (malahan) melemah.

Selanjutnya, kalau atas pencabutan batas usia (maksimal) Guru Penggerak oleh Mahkamah Agung (MA), kemudian pemerintah (dalam hal ini Kemendikbudristek) merekrut peserta PGP boleh diikuti oleh guru yang berusia lebih dari 50 tahun, sudahkah (terlebih dulu) dilakukan evaluasi terhadap Guru Penggerak yang direkrut berdasarkan kebijakan sebelum pencabutan tersebut?

Kalau belum, itu dulu yang seharusnya dilakukan. Sehingga, adanya perubahan tak membuat problem yang sudah ada --ini yang perlu ditemukan melalui asesmen-- semakin menggelembung. Selain itu, sayang, kalau anggaran yang jumlahnya tak sedikit, tak diikuti oleh perubahan pendidikan bagi siswa.

Bukan menolak adanya perubahan, yang memberi ruang bagi guru-guru yang sudah tua mengikuti PGP. Bukan! Tapi, perlu ada evaluasi dulu terhadap Guru Penggerak yang lahir berdasarkan kebijakan lama, yang usianya lebih muda.

Sekali lagi, berapa persen yang boleh dibilang berhasil, stagnan, dan (malahan) melemah? Jika yang muda-muda saja belum memenuhi target yang diharapkan, misalnya, lalu, bagaimana yang generasi lebih tua?

Intinya adalah perlu merenungkan ulang kebijakan menambah jumlah Guru Penggerak, lebih-lebih dari generasi yang lebih tua, sebelum mengetahui pemetaan Guru Penggerak yang sudah ada.

Juga, sayang anggaran, waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan yang terkuras, kalau tak ada efek yang luas bagi banyak siswa. Mungkin lebih baik anggaran dialihkan ke bagian lain yang lebih nyata bagi kemajuan pendidikan siswa.

Sekadar mencatat, pada 2024 anggaran untuk Kemendikbudristek sebesar 97,7 triliun. Dari anggaran itu, sebesar 23, 44 triliun untuk pendanaan program prioritas. Yang, di dalamnya termasuk untuk PGP (detik.com, 12/9/2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun