Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Langkah Kecil Kami Mengelola Limbah di Sekolah, Spirit Menjaga Asrinya Indonesia

6 Februari 2024   11:58 Diperbarui: 6 Februari 2024   12:02 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 3: Siswa menimbang sampah dibantu guru di lokasi bank sampah sekolah. (Dokumentasi sekolah)

Sekolah memang berbeda dengan pasar. Tapi, jumlah orang yang berada di dalamnya dapat saja sebanding. Atau bahkan, lebih banyak yang berada di sekolah.

Di sekolah tempat saya mengabdi, misalnya, ada 798 siswa. Belum terhitung guru dan tenaga kependidikan (GTK). Artinya, di sekolah, tentu pada hari-hari efektif, banyak dihuni orang.

Dan, kita mengetahui bahwa selama berada di sekolah, siswa dan GTK (warga sekolah) hampir dapat dipastikan memproduksi sampah harian. Sehingga, selalu ada sampah setiap hari. Baik yang anorganik maupun organik.

Jumlah satuan sampah dapat saja berbanding lurus dengan jumlah warga sekolah. Kalau pun ada selisih, tentu tak terlalu jauh berbeda.

Mungkin lebih banyak sampahnya. Atau, dapat saja lebih sedikit sampahnya. Selisih itu didapat dari membandingkan  jumlah satuan sampah dengan warga sekolah.

Melihat faktanya, sampah di sekolah tergolong banyak setiap harinya. Toh dalam konteks ini, yang disebut banyak, kami belum pernah menghitungnya.

Tapi, sekadar melihat saja, kami (langsung) dapat mengatakan bahwa (memang) banyak jumlahnya.

Itu sebabnya, langkah kecil untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik di sekolah sudah dan selalu dilakukan. Misalnya, di sekolah --ini saya kira di semua sekolah-- dibentuk petugas piket kelas. Petugas piket kelas bertugas menjaga kebersihan kelas.

Selain itu, mungkin juga  menyiapkan sarana tambahan penunjang proses pembelajaran. Misalnya, menyiapkan spidol dan penghapus, mengisi spidol yang habis tintanya, dan menghapus papan tulis. Ini beberapa tugas piket dalam aksi pembelajaran.

Tugas piket dalam aksi menjaga kebersihan kelas harus terus dikawal. Sebab, sektor ini bersentuhan dengan sampah. Dan, tak mudah orang mau bersentuhan dengan sampah. Lebih banyak mereka menghindarinya.

Maka, saya, mungkin juga guru yang lain, setiap memasuki ruang kelas, tak langsung mengajar. Kali pertama saya mesti melihat keadaan lingkungan kelas. Memastikan kelas dan sekitarnya  zero sampah.

Kalau ada sampah, saya ikhlas memberikan jam pembelajaran untuk membangun kesadaran siswa tentang lingkungannya. Lingkungan harus bersih, lebih-lebih lingkungan untuk pembelajaran.

Caranya, memberi waktu kepada petugas piket untuk menyapu, misalnya. Sebab, acap kali mereka (masih) membutuhkan guru untuk mengawal dalam aksi menyapu.

Mereka masih harus dibimbing. Diarahkan, bahkan kadang harus ditunjukkan, di situ ada sampah, di sini tak ada sampah. Guru memang perlu bersabar.

Sekalipun, ada juga siswa yang sudah paham mengenai cara menyapu yang benar. Siswa yang termasuk kelompok ini akan menyapu dengan baik.

Di kolong-kolong kursi dan meja pasti disapu karena sangat mungkin sampah bersembunyi di sana dan mereka mengetahuinya.

Sesekali secara bersama, saya pun menggerakkan siswa untuk melongok laci meja mereka dan mengambil sampah yang mungkin ada di dalamnya.

Kadang satu-dua laci meja ada sampahnya, seringnya sobekan kertas dan/atau  plastik pembungkus jajan. Atau, kadang ditemukan cup plastik, bahkan (pernah) botol air mineral.

Hingga kini, sekolah belum dapat menghindari adanya cup plastik. Pun demikian pembungkus jajan dan kemasan minuman yang berbahan plastik.

Ini produksi pabrik dan sekolah belum memiliki kekuatan untuk menolaknya. Sama persis seperti ibu Pertiwi, Indonesia, yang hingga kini belum memiliki hati untuk menghindarinya.

Karenanya, alternatif solusi pengelolaan sampah plastik di sekolah (kami) adalah di tiap kelas disediakan tempat untuk cup plastik dan tempat untuk botol plastik, di samping disediakan juga tong sampah anorganik dan tong sampah organik.

Proses mengelola sampah plastik, khususnya cup plastik dan botol plastik, memang membutuhkan energi ekstra.

Di sekolah kami, sebelum cup plastik dimasukkan ke tempat yang disiapkan, siswa harus membuang dulu sisa cairan yang masih ada setelah melepaskan tutupnya, hingga tuntas. Tutup cup plastik dimasukkan ke tong sampah anorganik.

Dan, itu sama persis, ada proses penting yang harus dilakukan sebelum siswa meletakkan botol plastik di tempat yang disediakan. Yaitu, botol diremas atau dipipihkan dulu setelah tutup botol diambil. Dan, setelahnya, tutup botol (boleh) ditutupkan kembali.

Peremasan atau pemipihan botol terkait dengan tempat yang disediakan agar dapat memuat banyak botol. Sehingga, lebih efisien.

Selain itu, label yang melingkar di tubuh botol pun harus dilepas. Bagian ini  tak dapat didaur ulang. Tapi, beberapa siswa kami pernah memanfaatkannya untuk fesyen yang dipadukan dengan barang-barang bekas yang lain. Menarik juga ketika mereka mengadakan fesyen show saat HUT sekolah.

Ilustrasi 2: Siswa fesyen show dengan busana rancangan sendiri dari limbah. (Dokumentasi sekolah)
Ilustrasi 2: Siswa fesyen show dengan busana rancangan sendiri dari limbah. (Dokumentasi sekolah)

Selama ini proses tersebut berlangsung baik. Sekalipun tak dapat dimungkiri masih ada satu-dua siswa yang kadang lupa melakukan proses yang semestinya.

Namun, kami saling mengingatkan jika ketahuan ada yang melakukan kecerobohan. Karena kecerobohan berdampak terhadap bertambah lamanya mengelola sampah plastik. Jadi, tak efisien lagi.

Sampah plastik yang dapat didaur ulang, yang sudah terkumpul di tiap-tiap kelas, oleh siswa, biasanya siswa Duta Adiwiyata Kelas, ditimbangkan di petugas. Petugas ini, di sekolah kami, diperankan oleh seorang guru.

Siswa  yang menimbang sampah plastik selalu membawa buku saku untuk mencatat bobot hasil menimbang. Setelah itu, sampah plastik dikumpulkan di bank sampah, yang juga dikelola  oleh siswa dalam bimbingan guru.

Setiap akhir bulan, sampah plastik diambil oleh pengepul barang rongsok, yang dikelola oleh desa tempat sekolah kami berdiri, untuk dibeli. Atau, petugas dari sekolah mengantarkan ke pengepul untuk menjual rongsok plastik tersebut. Sekolah sudah bekerja sama sejak beberapa tahun yang lalu.

Uang hasil menjual rongsok plastik, diberikan ke kelas sesuai dengan catatan hasil timbangan. Jadi, sangat mungkin masing-masing kelas menerima uang dalam jumlah yang berbeda. Uang ini dipergunakan untuk menambah kas  kelas.

Upaya membersamai siswa dalam proses-proses seperti di atas menandakan bahwa guru (telah) membangun kesadaran siswa mengenai sampah, yang tak selalu menjadi musibah, tapi (dapat) menjadi berkah.

Hanya memang, perlu ada proses panjang yang harus dialami oleh siswa. Mulai dari menghilangkan rasa jijik terhadap sampah, memilah, membersihkan, menata, menimbang, hingga mencatat.

Ilustrasi 3: Siswa menimbang sampah dibantu guru di lokasi bank sampah sekolah. (Dokumentasi sekolah)
Ilustrasi 3: Siswa menimbang sampah dibantu guru di lokasi bank sampah sekolah. (Dokumentasi sekolah)

Semuanya itu memberi pengalaman belajar yang riil, yang dihadapi mereka sehari-hari di masyarakat. Siswa (baca: anak), dengan demikian, lambat laun memiliki modal "hidup" untuk beradaptasi mengikuti perubahan zaman yang membutuhkan kepedulian.

Upaya membersamai dengan mengafirmasi dan memersuasi siswa harus terus dilakukan oleh guru. Sebab, proses-proses ini akan terulang, terulang, dan terulang lagi pada waktu-waktu berikutnya, yang mungkin (saja) dapat membosankan karena rutinitas.

Tapi, adanya pengelolaan sampah organik dapat menjadi pembeda. Yang, memungkinkan siswa justru memiliki banyak pengalaman belajar yang riil lainnya. Yang, sekaligus (sangat mungkin) dapat menekan rasa bosannya.

Maka, sampah organik yang juga dapat dijumpai di sekolah, dikelola juga oleh siswa bersama guru. Bahkan, dalam hal ini, sekolah kami  melakukan kerja sama dengan salah satu perusahaan besar di daerah kami untuk melakukan pengomposan.

Untuk menguatkan kerja sama tersebut, sekolah memilih salah satu topik dalam pembelajaran proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), yaitu "Pengomposan", yang diambil  dari tema "Gaya Hidup Berkelanjutan yang Berkaitan dengan Masalah Lingkungan dan Pemanasan Global".

Narasumber yang dihadirkan di sekolah, seperti yang disebutkan di atas dari salah satu perusahaan besar, sudah lama memiliki konsentrasi besar terhadap lingkungan. Narasumber berbagi pengetahuan dan keterampilan dalam pengomposan kepada siswa kami.

Mulai dari pengenalan alat dan bahan yang digunakan, cara menangani sampah organik, proses pengomposan, hingga pengemasan hasil pengomposan.

Dalam praktik baik, siswa secara berkelompok mengumpulkan sampah organik. Lalu, menanganinya dengan cara memotong-motong sampah tersebut dalam ukuran yang lebih kecil. Lalu mencampurnya dengan sedikit kompos yang sudah disiapkan.

Berikutnya, memasukkan campuran tersebut ke dalam alat, yang dibuat dari perpaduan keranjang plastik dan kardus, untuk proses pengomposan. Ditunggu dalam waktu lebih kurang satu minggu, lalu dibuka dan jadilah kompos.

Terakhir, kompos dikemas. Saat ada gelar karya P5, kompos yang sudah dikemas tersebut dipamerkan. Dan, tanpa disangka ada beberapa orangtua/wali siswa yang membeli. Karena memang dalam acara pameran tersebut, kompos juga dipasarkan.

Bahkan, dalam proses berikutnya, hasil pengomposan dapat dimanfaatkan oleh sekolah (sendiri) untuk memupuk tanaman yang ada di lingkungan sekolah. Ini justru yang menarik karena keberlanjutan terus dapat terjaga.

Ilustrasi 4: Praktik baik pengomposan oleh siswa. (Dokumentasi sekolah)
Ilustrasi 4: Praktik baik pengomposan oleh siswa. (Dokumentasi sekolah)

Di dalam semua proses dan tahap yang dialami oleh siswa, baik saat dibersamai oleh guru maupun narasumber, semakin memberi kesadaran kepadanya bahwa sampah, yang sangat dekat dengan gerak kehidupan manusia, tak perlu disia-siakan.

Tapi, diberi ruang di dalam hati, kreasi, inovasi, dan aksi karena faktanya sampah memiliki nilai bagi kehidupan, baik bagi manusia, hewan, dan tumbuhan yang ada di bumi ini.

Epilog

Proses yang sudah dan terus dilakukan di sekolah kami, sudah pasti dilakukan  juga di sekolah-sekolah lain. Sebab, sekolah tentu menyadari bahwa sampah, baik anorganik maupun organik, bagian dari kehidupan manusia yang membutuhkan pengelolaan.

Kalau setiap sekolah dari Sabang sampai Merauke; dari Rote hingga Miangas, melakukan pengelolaan sampah dengan baik, maka, upaya tersebut memberi sumbangsih bagi alam Indonesia.

Memang tak seberapa kami memberi sumbangsih dalam menjaga lingkungan dari limbah domestik. Karena, kami hanya melakukan langkah kecil di lingkungan sekolah. Sangat kecil. Sementara, di luar sana sampah domestik dan persoalannya begitu besar.

Tapi, kesetiaan hati, kreasi, inovasi, dan aksi kami, semoga terus terjaga. Pun demikian, itu kiranya menjadi komitmen (besar) semua sekolah yang tersebar di bumi Pertiwi ini.

Agar, sekalipun hanya langkah kecil yang dapat dijangkau oleh sekolah dapatlah menjadi spirit bagi masyarakat (bangsa ini) untuk turut serta menjaga keasrian alam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun