Maka, saya, mungkin juga guru yang lain, setiap memasuki ruang kelas, tak langsung mengajar. Kali pertama saya mesti melihat keadaan lingkungan kelas. Memastikan kelas dan sekitarnya  zero sampah.
Kalau ada sampah, saya ikhlas memberikan jam pembelajaran untuk membangun kesadaran siswa tentang lingkungannya. Lingkungan harus bersih, lebih-lebih lingkungan untuk pembelajaran.
Caranya, memberi waktu kepada petugas piket untuk menyapu, misalnya. Sebab, acap kali mereka (masih) membutuhkan guru untuk mengawal dalam aksi menyapu.
Mereka masih harus dibimbing. Diarahkan, bahkan kadang harus ditunjukkan, di situ ada sampah, di sini tak ada sampah. Guru memang perlu bersabar.
Sekalipun, ada juga siswa yang sudah paham mengenai cara menyapu yang benar. Siswa yang termasuk kelompok ini akan menyapu dengan baik.
Di kolong-kolong kursi dan meja pasti disapu karena sangat mungkin sampah bersembunyi di sana dan mereka mengetahuinya.
Sesekali secara bersama, saya pun menggerakkan siswa untuk melongok laci meja mereka dan mengambil sampah yang mungkin ada di dalamnya.
Kadang satu-dua laci meja ada sampahnya, seringnya sobekan kertas dan/atau  plastik pembungkus jajan. Atau, kadang ditemukan cup plastik, bahkan (pernah) botol air mineral.
Hingga kini, sekolah belum dapat menghindari adanya cup plastik. Pun demikian pembungkus jajan dan kemasan minuman yang berbahan plastik.
Ini produksi pabrik dan sekolah belum memiliki kekuatan untuk menolaknya. Sama persis seperti ibu Pertiwi, Indonesia, yang hingga kini belum memiliki hati untuk menghindarinya.
Karenanya, alternatif solusi pengelolaan sampah plastik di sekolah (kami) adalah di tiap kelas disediakan tempat untuk cup plastik dan tempat untuk botol plastik, di samping disediakan juga tong sampah anorganik dan tong sampah organik.