Ini jelas tak mungkin. Sebab, setiap siswa memiliki kekhasan, yang harus dihargai. Ada yang mungkin mau memperdalam membatik dengan teknik ecoprint. Tapi, mungkin ada yang memilih yang lain.
Tapi, sekurang-kurangnya, kami sudah mengajak lebih kurang 266 siswa mengenal alam dan lingkungannya yang harus dihargai karena memiliki fungsi penting untuk kelangsungan hidup yang berkelanjutan, baik bagi tumbuhan, hewan, maupun bagi dirinya sendiri.
Proses pendidikan memang tak selalu memberikan hasil seperti yang diharapkan, yaitu hasil maksimal. Tapi, sebuah keyakinan perlu dibangun bahwa dari, katakanlah, lebih kurang 266 siswa yang berproses dalam ecoprint, pasti ada yang tertarik.
Ada satu (saja) dari sejumlah besar siswa yang disebutkan di atas yang mau melanjutkan keterampilan membatik teknik ecoprint, sekolah sudah dapat dikatakan berhasil.
Berhasil mengajak siswanya menghargai lingkungan alam. Berhasil juga memberi masa depan siswanya menjadi pelaku usaha industri kreatif, yang bukan mustahil (dapat) membawa banyak orang bergerak di bidang lingkungan alam yang (benar-benar) sustainable.
Sebab, pembuatan batik ecoprint --kita mengetahuinya-- membutuhkan bahan alami, yang memang harus terus diperbarui dari waktu ke waktu oleh pengelola alam, misalnya, pengelola di bidang pertanian, industri pertanian, dan kehutanan.
Tapi, setiap orang pun memiliki tanggung jawab ini, dari rumah tangga, komunitas, sekolah, pondok pesantren, lembaga-lembaga agama, hingga lembaga pemerintah dan swasta.
Dengan begitu, selain alam terus terjaga, alam juga termanfaatkan secara terukur. Sehingga, terjadi siklus yang terus bergerak, yang tanpa ada perusakan alam meskipun ada pemanfaatan (alam) demi merawat kelangsungan hidup.
Fesyen ecoprint
Batik ecoprint hasil pembelajaran P5 langsung dimanfaatkan untuk pertunjukan fesyen, yang dibawakan oleh siswa. Beberapa siswa dari perwakilan tiap kelas sebagai modelnya.