Judul ini menimbulkan orang berpikir terbuka. Bebas menafsirkan. Ini hal yang baik, saya kira. Sebab, orang dapat secara merdeka berpikir. Toh, kini, kita memang sudah hidup dalam alam yang merdeka.
Tapi, saya memikirkan ke satu arah saja agar lebih terarah. Ke arah yang lebih memberi pertumbuhan. Karena, sejatinya, catatan ini bersumber dari perjumpaan saya secara tak sengaja di selasar sekolah, dekat dengan salah satu ruang kelas, dengan salah satu orangtua siswa.
Ia membawa sebuah buku. Dan, kemudian saya mengetahui maksudnya setelah ia mengatakan bahwa buku itu hendak diberikan kepada anaknya. Yang, sudah berada di ruang kelas karena sedang berdoa bersama sebelum memulai proses pembelajaran.
Berdoa bersama sebetulnya bagian dari proses pembelajaran. Tapi, sering-sering orang berpikir bahwa yang termasuk dalam proses pembelajaran adalah ketika siswa dan guru terlibat dalam proses pembelajaran tentang mata pelajaran (mapel).
Berdoa bersama tak termasuk mapel. Karenanya, berdoa bersama tak terhitung dalam proses pembelajaran. Tentu boleh-boleh saja ada pandangan seperti itu.
Sekalipun berdoa bersama tak termasuk proses pembelajaran, tapi kurang elok jika orangtua termaksud langsung menuju ruang kelas anaknya untuk menemui anaknya dan menyerahkan buku yang tertinggal di rumah.
Maka, ketika orangtua tersebut mengatakan tujuannya kepada saya, saya langsung membiarkan buku yang dibawa diserahkan kepada saya. Saya mengatakan kepadanya bahwa buku akan segera saya sampaikan kepada anaknya, yang notabene salah satu siswa saya.
Ia mengucapkan terima kasih setelah mendengar kesediaan saya menyampaikan buku tersebut  kepada anaknya. Tentu ini sikap yang wajar, bahkan sangat wajar. Sebab, hal demikian memang seharusnya dilakukan oleh siapa pun setelah mendapat bantuan orang lain.
Karenanya, bukan hal itu yang hendak saya uraikan di catatan ini. Tapi, hal yang tersembunyi, yang tak kasatmata, namun ada dalam diri orangtua salah satu siswa saya tersebut, menurut penglihatan batin saya.
Orangtua tersebut berani mengambil risiko. Terbukti, ia mengantarkan buku anaknya yang tertinggal di rumah ke sekolah, tempat anaknya belajar, yang bukan tanpa risiko. Ada risiko yang ditanggung, sekurang-kurangnya ia harus menyediakan waktu, tenaga, perasaan, dan pikiran untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Dapat saja (sebetulnya) ia menolak mengantarkan buku tersebut. Sebab, dengan sikap ini, ia (akan) dapat menghemat waktu, tenaga, dan bahkan dapat terhindar dari  pertanyaan dan rasa malu karena pasti bertemu dengan guru atau karyawan sekolah.
Sangat mungkin ketika bertemu guru atau karyawan sekolah, ia ditanya mengenai keperluannya. Misalnya, tentang buku anaknya yang ketinggalan, alasan buku ketinggalan, kalau malam si anak  belajar atau tidak, dan keperluan untuk sekolah sudah disiapkan si anak sejak malam atau tidak.
Jawaban yang diberikan dapat saja membuat dirinya (harus) menanggung malu karena kecerobohan anak, ketidaksiapan anak, atau kekurangdisiplinan anak, misalnya.
Tapi, ternyata, ia lebih memilih menghadapi risiko itu. Ia lebih mengutamakan kepentingan anaknya daripada kepentingannya sendiri. Dari tak membawa buku, akhirnya  anaknya menjadi membawa buku. Yang, tentu saja buku tersebut sangat dibutuhkan anaknya untuk menunjang proses pembelajaran.
Tindakan orangtua salah satu siswa saya tersebut, diakui atau tidak, memiliki makna yang (sangat) besar bagi anaknya. Ia tak hanya memberi rasa bahagia, nyaman, aman, dan sejahtera bagi anak. Tapi, juga memberi  ruang tumbuh bagi kompetensi anak.
Pada titik ini sebetulnya orangtua memenangkan anaknya. Sebab, sekalipun tindakan orangtua tersebut seolah sederhana, tapi memiliki efek yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anaknya, baik secara psikologis, akademis, maupun sosiologis.
Karena, anak yang menghadapi problem telah mendapatkan tindakan yang tepat dari orangtua. Intinya, orangtua mengorbankan diri demi anak. Yaitu, ia harus melawan rasa tak nyaman, melawan egoisme (diri), melawan ketakutan, melawan kelelahan, dan melawan hal-hal lain yang sejenis.
Saya tak mengerti persis latar belakang pendidikan orangtua tersebut. Lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), atau perguruan tinggi (PT), saya tak mengetahuinya.
Tapi, tindakan yang diberikan bagi anaknya merupakan praktik edukasi yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap orangtua yang anaknya sedang mengalami problem. Problem apa pun. Baik problem fisik, psikologis, akademis, maupun sosiologis.
Bahkan, terhadap anak yang tak mengalami problem saja, orangtua perlu menyediakan ruang diskusi bersama untuk meraih kemenangan yang optimal. Ingat, kemenangan anak adalah kemenangan orangtua juga.
Saya harus jujur, ini adalah autokritik. Tapi, sangat mungkin juga menjadi kritik bagi setiap orangtua, yang oleh Sang Khalik dititipi anak yang harus diberi ruang untuk meraih kemenangan. Jangan justru sebaliknya, menyediakan ruang kekalahan bagi anak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H