Dapat saja (sebetulnya) ia menolak mengantarkan buku tersebut. Sebab, dengan sikap ini, ia (akan) dapat menghemat waktu, tenaga, dan bahkan dapat terhindar dari  pertanyaan dan rasa malu karena pasti bertemu dengan guru atau karyawan sekolah.
Sangat mungkin ketika bertemu guru atau karyawan sekolah, ia ditanya mengenai keperluannya. Misalnya, tentang buku anaknya yang ketinggalan, alasan buku ketinggalan, kalau malam si anak  belajar atau tidak, dan keperluan untuk sekolah sudah disiapkan si anak sejak malam atau tidak.
Jawaban yang diberikan dapat saja membuat dirinya (harus) menanggung malu karena kecerobohan anak, ketidaksiapan anak, atau kekurangdisiplinan anak, misalnya.
Tapi, ternyata, ia lebih memilih menghadapi risiko itu. Ia lebih mengutamakan kepentingan anaknya daripada kepentingannya sendiri. Dari tak membawa buku, akhirnya  anaknya menjadi membawa buku. Yang, tentu saja buku tersebut sangat dibutuhkan anaknya untuk menunjang proses pembelajaran.
Tindakan orangtua salah satu siswa saya tersebut, diakui atau tidak, memiliki makna yang (sangat) besar bagi anaknya. Ia tak hanya memberi rasa bahagia, nyaman, aman, dan sejahtera bagi anak. Tapi, juga memberi  ruang tumbuh bagi kompetensi anak.
Pada titik ini sebetulnya orangtua memenangkan anaknya. Sebab, sekalipun tindakan orangtua tersebut seolah sederhana, tapi memiliki efek yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anaknya, baik secara psikologis, akademis, maupun sosiologis.
Karena, anak yang menghadapi problem telah mendapatkan tindakan yang tepat dari orangtua. Intinya, orangtua mengorbankan diri demi anak. Yaitu, ia harus melawan rasa tak nyaman, melawan egoisme (diri), melawan ketakutan, melawan kelelahan, dan melawan hal-hal lain yang sejenis.
Saya tak mengerti persis latar belakang pendidikan orangtua tersebut. Lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), atau perguruan tinggi (PT), saya tak mengetahuinya.
Tapi, tindakan yang diberikan bagi anaknya merupakan praktik edukasi yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap orangtua yang anaknya sedang mengalami problem. Problem apa pun. Baik problem fisik, psikologis, akademis, maupun sosiologis.
Bahkan, terhadap anak yang tak mengalami problem saja, orangtua perlu menyediakan ruang diskusi bersama untuk meraih kemenangan yang optimal. Ingat, kemenangan anak adalah kemenangan orangtua juga.
Saya harus jujur, ini adalah autokritik. Tapi, sangat mungkin juga menjadi kritik bagi setiap orangtua, yang oleh Sang Khalik dititipi anak yang harus diberi ruang untuk meraih kemenangan. Jangan justru sebaliknya, menyediakan ruang kekalahan bagi anak!