Saya yakin bahwa piket kelas di sekolah masih diberlakukan. Seperti di sekolah tempat saya mengajar pun masih berlaku. Umumnya, untuk mengelolanya, guru (guru kelas atau wali kelas) bekerja sama dengan siswa membuat daftar piket kelas.
Dulu, daftar piket kelas ditulis di kertas manila, yang kemudian ditempelkan di dinding kelas. Kini, daftar piket kelas dibuat di banner, yang dapat didesain sesuai keinginan dan kebutuhan kelas dan dipajang di dinding kelas.
Daftar piket kelas yang dipajang di dinding ruang kelas dimaksudkan agar mudah dilihat oleh siswa dan guru. Siswa lebih mudah mengingat dan mengetahui waktu piketnya. Yang, selanjutnya dimaksudkan mendorong mereka segera melakukan tugas piketnya di kelas.
Siswa yang piket, yang biasanya terdiri atas beberapa siswa, melakukannya bersama. Ada yang menyapu. Ada yang menyulaki meja dan kursi, baik meja dan kursi guru maupun siswa. Bahkan, juga menatanya.
Ada juga yang membersihkan papan tulis dan menyiapkan sarana terkait dengan kepentingan papan tulis. Membersihkan kaca jendela. Mungkin masih ada bagian-bagian lain yang dikerjakan sesuai situasi dan kondisi kelas dan sekolah masing-masing.
Proses pembelajaran di ruang kelas memang membutuhkan lingkungan yang mendukung. Sekalipun tentu tak hanya dari sisi kebersihan dan kerapian ruang kelas.Sisi tersebut tak dapat diabaikan dalam proses pembelajaran. Belajar di lingkungan yang nyaman, segar, dan aman akan membikin siswa betah dan senang.
Tapi, apakah faktanya piket kelas saat ini sudah atau masih berlangsung dengan baik? Jawabannya, mungkin ada yang sudah atau masih berlangsung dengan baik. Tapi, bukan mustahil ada yang berlangsung kurang baik.
Padahal, jika guru mau mencermatinya, piket kelas dapat diarahkan tak hanya sebatas untuk mengondisikan ruang kelas demi proses pembelajaran, tapi dapat menjadi sarana menghidupkan semangat bergotong royong, yang kini, diakui atau tidak, sudah hilang dari masyarakat.
Hal ini dapat dimengerti karena tugas piket kelas dilakukan oleh kelompok siswa. Tiap hari selama enam hari di sekolah yang masuk sekolah efektif enam hari dan selama lima hari di sekolah yang masuk sekolah efektif lima hari, petugas piket kelas selalu dalam kelompok siswa yang berbeda.
Itu artinya, semua siswa dalam kelas mendapat kesempatan untuk melakukan tugas piket kelas secara bersama. Di poin ini guru dapat memberdayakan tugas piket kelas. Yaitu, dengan memastikan bahwa semua siswa yang bertugas melaksanakan tugas piketnya secara bersama-sama.
Untuk hal ini guru memang harus mengawalnya. Tak sekadar mengingatkan dan memberi tahu. Tapi, mengikuti prosesnya dari waktu ke waktu.
Sehingga, guru selalu dapat melihat progres yang berlangsung. Memberi semangat bagi petugas piket kelas yang sudah maksimal melaksanakan tugasnya. Dan, memberi bimbingan bagi petugas piket kelas yang belum maksimal melaksanakan tugasnya.
Sebab, sangat disayangkan jika siswa melaksanakan tugas piketnya sekadar untuk memenuhi syarat piket. Karena dalam konteks ini tentu siswa menjalankan tugasnya secara asal-asalan. Jadi percuma alias sia-sia.
Apalagi kalau dalam tugas piket yang seharusnya dilaksanakan secara bersama-sama, justru dilaksanakan hanya oleh satu-dua siswa. Siswa lain yang ada dalam satu kelompok piket hanya duduk-duduk sembari bermain-main.
Hal yang nyata dapat disebutkan bahwa selama ini siswa putri yang lebih banyak ambil peran dalam tugas piket kelas. Sedangkan, siswa putra tak seperti itu.
Kenyataan itu lebih mudah ditemukan di tingkat SMP dan yang sederajat, juga di tingkat SMA/SMK dan yang sederajat ketimbang di tingkat SD dan yang sederajat.
Dalam hal ini harus diakui bahwa siswa tingkat SD dan yang sederajat pada kenyataannya lebih mudah dibimbing dan diarahkan daripada siswa SMP dan yang sederajat serta siswa SMA/SMK dan yang sederajat. Boleh jadi ini tersebab oleh faktor usia.
Siswa SD dan yang sederajat memang lebih muda daripada siswa SMP dan yang sederajat serta siswa SMA/SMK dan yang sederajat. Toh memang ada adagium demikian, yang muda lebih fleksibel untuk dibentuk; yang tua tak lagi fleksibel untuk dibentuk.
Karenanya, dalam maksud baik ini guru memiliki peran utama. Sebab, guru yang secara terprogram memiliki ruang untuk membangun sikap siswanya. Sekurang-kurangnya melalui tugas piket kelas, guru dapat membangun sikap bergotong royong dalam diri siswa.
Hal ini mendesak guru untuk menyeriusinya. Sebab, kita bersama mengetahui bahwa budaya bergotong royong di masyarakat sudah sangat berkurang. Bahkan, seperti sudah disebutkan di atas, sudah hilang.
Itu sebabnya, dalam Kurikulum Merdeka, khususnya dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), bergotong royong merupakan salah satu dari enam dimensi profil pelajar Pancasila yang harus ditanamkan dalam diri siswa.
Menanamkan sikap bergotong royong melalui tugas piket kelas sangat efektif. Sebab, di dalam menjalankan tugas piket kelas itu, nilai kolaborasi, peduli, dan berbagi dapat diwujudkan. Dan, ketiga nilai tersebut sebagai penanda keberadaan sikap bergotong royong.
Maka, peran utama guru yang harus dilakukan dalam konteks ini, pertama, mengevaluasi secara berkala tugas piket yang selama ini berjalan. Mengevaluasi secara berkala dimaksudkan untuk menjaga kesetiaan siswa melaksanakan piket kelas.
Dalam mengevaluasi ini, siswa harus dilibatkan secara langsung. Bahkan, penting baginya diberi ruang untuk mendiskusikannya agar mereka menemukan solusi terbaik atas problem yang mungkin dialami dalam melaksanakan piket kelas.
Kedua, mengawal kelangsungan piket kelas dari waktu ke waktu. Guru selalu setia untuk memberi tahu, mengingatkan, dan mengarahkan siswa yang piket kelas. Agar, tak ada satu pun siswa yang meremehkan tugasnya dalam kelompok piket kelas.
Guru memastikan semua siswa melaksanakan tugasnya secara bersama-sama. Bahkan, memberi kesadaran kepada siswa dalam menjalankan tugas tanpa membedakan gender.
Siswa putra boleh ambil peran untuk menyapu. Sementara itu, siswa putri boleh ambil bagian dalam membersihkan jelaga di langit-langit ruang kelas. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh siswa dalam piket kelas relatif dapat dikerjakan oleh siapa pun, tanpa membedakan gender.
Bergotong royong yang demikian inilah yang oleh guru melalui piket kelas mesti terus dikawal dan dijaga. Dan, memastikan tak ada siswa yang memilih-milih tugas. Karena semua tugas-pekerjaan yang ada dapat dikerjakan, tanpa memilih itu atau ini.
Ketiga, guru perlu memberi apresiasi terhadap kelompok piket kelas yang terbaik, dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, per tiga bulanan, per empat bulanan, atau per enam bulanan.
Penentuan kurun waktu tersebut perlu juga melibatkan siswa. Justru dalam hal ini, guru mengambil posisi sebagai fasilitator, tak sebagai pihak yang menentukan. Yang menentukan adalah siswa (sendiri). Agar, ketentuan yang sudah disepakati tersebut dapat dihayati oleh siswa secara mendalam.
Dengan begitu, mereka memiliki target. Yang, dapat saja target tersebut dijadikan pemantik kelompok piket kelas dalam melaksanakan tugasnya. Karena mengerjakan sesuatu tanpa target, yang kelak belum tentu dapat dinikmati, sepertinya memang tak mudah.
Dan, perlu diingat, dalam hal ini yang digunakan sebagai sumber apresiasi bukan semata-mata bersih dan rapinya ruang kelas. Tapi, justru yang lebih penting dan utama adalah keakraban dan kegotongroyongan kelompok piket kelas dalam melaksanakan tugasnya.
Sikap positif, yakni bergotong royong, yang sepertinya tak mudah dilakukan, perlu sedikit dipaksakan dengan cara-cara yang beradab dan menarik. Dan, sangat mungkin sikap yang dibentuk itu lambat laun menjadi kebiasaan. Selanjutnya, menjadi budaya.
Pada akhirnya, tugas piket kelas secara kelompok yang telah dibudayakan sejak lama, yang sejatinya dapat dijadikan sebagai sarana menghidupkan sikap bergotong royong sejak dini pada diri siswa, sayang jika tak diberdayakan. Dear, guru, mari berdayakan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H