Dulu, anak saya yang pertama menjadi siswa di sekolah tempat saya mengajar. Ketika Kelas 7 dan 8, saya tak mengajarnya. Tapi, ketika Kelas 9, saya mengajarnya.
Saat pembagian tugas mengajar sebetulnya saya dapat mengajukan perubahan kepada kepala sekolah. Saya pindah mengajar di kelas lain agar tak mengajar anak sendiri.
Tapi, saya tak melakukannya. Saya menerima pembagian tugas mengajar tersebut. Meski  beberapa teman guru, baik pada tahun-tahun sebelumnya maupun tahun yang sedang berjalan, meminta agar tak mengajar anaknya.
Ada benarnya juga ternyata. Sebab, saat saya mengajar di kelas yang anak saya berada di dalamnya, saya dianggap tak adil memperlakukan dia tentang nilai.
Karenanya, ketika adiknya mau mengikuti jejaknya, ia berpesan tak usah mendaftar sekolah di sekolahnya dulu, maksudnya di sekolah tempat saya mengajar.
Mendaftar di sekolah lain saja. Sebab, dikatakannya, jika saya (ayah) mengajar, adiknya tak mungkin mendapat nilai bagus.
Plak! Saat si sulung mengatakan hal itu kepada adiknya, seolah saya kena tamparan keras. Betulkah saya berbuat seperti yang dianggapkan si sulung?
Mungkin betul juga. Sebab, setelah saya renung-renungkan, saat itu memang saya merasa tak nyaman ketika memberi nilai kepada si sulung lebih dari siswa yang lain sekalipun sejatinya ia mendapat nilai bagus.
Tapi, selama itu, ia tak pernah protes, baik saat di rumah maupun di sekolah. Selama itu si sulung mampu menyimpan dalam hati bertahun-tahun. Dan, selama itu berarti saya jahat terhadapnya.
Tapi, sesuatu yang istimewa terjadi. Sebab, ia dapat membuktikan bahwa kejahatan saya terbukti. Yaitu, ketika ia mendapat nilai ujian nasional tertinggi di sekolah dalam mata pelajaran yang saya ajarkan.